Nationalgeographic.co.id - Dalam sejarah dunia, berbagai perdaban membuat budaya pakaian tradisionalnya dan memiliki penutup kepala. Mulai dari kebudayaan Mesopotamia, Yahudi, dan Arab yang kini dikenal seperti hijab, hingga yang dimiliki masyarakat Nusantara.
Pada kebudayaan masyarakat Nusantara, rupanya penutup kepala ini memiliki ragam bentuk dan nama. Tetapi seiring dengan adanya penyeragaman pakaian, penutup kepala perempuan perlahan-lahan tergerus.
"Masing-masing dari tutup kepala ini merupakan simbol dan atribut dari budayanya, dan muatan filosofis yang sungguh kaya," papar Andy Yantriyani dari Komnas Perempuan dalam sambutannya di webinar Pembukaan Penyelenggaraan Festival Penutup Kepala Nusantara 2021, Selasa (18/08).
"Sayangnya, pengetahuan tentang ini di Indonesia—di antara kita bahkan—sangat terbatas."
Tengkuluk misalnya, penutup kepala perempuan yang berasal dari Sumatera Barat dan Jambi. Penutup kepala ini di Jambi memiliki tiga jenis berdasarkan kegunaannya, untuk sehari-hari, kegiatan seni dan budaya, dan upacara adat.
Tengkuluk Jambi juga mengidentifikasi status seorang perempuan lewat juntaiannya. Apabila juntaiannya berada di sisi kiri, menandakan perempuan itu belum menikah, dan sebaliknya bila berada di sisi kanan.
Sedangkan tengkuluk di budaya Minangkabau, lebih disebut sebagai tikuluak. Jumlah jenisnya lebih beragam dari segi bentuk dan daerahnya, contohnya tengkuluk yang memiliki sisi tanduk yang tumpul dari Lima Puluh Kota.Ada pula yang berbentuk sederhana dan ada yang menyerupai cerobong yang bisa digunakan secara ikat dari Tanah Datar dan Solok.
Bahan yang menjadi kain tengkuluk bisa dari kain tenun, kain bugis, telekung, kain ludru, kain mukena, kain batik, hingga pasmina.
"Menurut pandangan kami, sebenarnya menggambarkan kedaulatan perempuan di Minangkabau dan hiasan kepala perempuan," ujar Yefri Heriani yang memperkenalkan tikuluak di forum itu.
"Tingkuluak melambangkan kekuatan hati, mempunyai kemauan yang tinggi untuk mencapai yang baik, gigih tidak pernah berputus asa, berani, ramah tamah dan tidak ingin melukai hati, keseimbangan, bersifat adil sesuai kebutuhan."
Sedangkan di Jambi, tengkuluk masih dipakai dan diwajibkan oleh pemerintah daerah sejak 2010 untuk digunakan dalam instansi pemerintahan.
Baca Juga: Apa Kabar, Dewi-dewi Nusantara Penjaga Kemakmuran Alam Semesta?
Bagi perempuan adat Simalungun di Sumatera Utara, Bulang sebagai penutup kepala perempuan juga memiliki jenis berdasarkan kegunaannya: bulang sulappei untuk adat atau pesta, bulang siteget untuk pengantin, bulang gijang untuk yang berusia tua, dan bulang salalu untuk dipakai sehari-hari. Semua bisa dibedakan dengan cara melipatnya.
Penutup kepala ini hanya dikhususkan bagi perempuan yang sudah menikah. Bulang akan diberikan oleh mertua kepada menantunya sebagai tanda memasuki keluarga baru.
Bulang berbahan kain tenun yang panjangnya 1,5 meter dan lebarnya 30 sentimeter, dengan rumbai sepanjang 18 sentimeter. Yang membuatnya berbeda dari semua jenis. Dalam coraknya terdapat simbol alat kelamin perempuan dan laki-laki di sisi yang berbeda.
Perempuan yang menggunakan bulang harus menonjolkan simbol perempuan itu, tetapi bagian simbol laki-laki harus dimasukkan atau disembunyikan.
"Artinya secara filosofi, perempuan Simalungun itu mengangkat harga diri suaminya, sehingga kalau ada kekurangan itu harus ditutupi," ujar Anita Martha Hutagalung yang memperkenalkan bulang. "Kendalanya sekarang tergerus oleh zaman, perempuan zaman sekarang mulai berkurang yang mau memakai."
Baca Juga: Walau Rentan Ketika Masa Pagebluk, Perempuan Memiliki Manuver Juang
Penutup kepala ini khas dari Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Bahannya terbuat dari kain tenun berbentuk persegi empat yang luasnya sekitar 40 sentimeter dengan paduan benang warna-warni.
Pemakaiannya cukup sederhana, dengan membagi dua hingga membentuk segitiga untuk diikatkan ke kepala. Selanjutnya, benang diujung kain yang merupakan tali pengikat harus dibalutkan ke depan kepala sampai habis.
"Segitiga itu bermakna melambangkan sebuah gunung adalah sumber dari makhluk hidup di Bumi ini. Jong digunakan sejak turun temurun dan sering digunakan pada acara ritual antara lain: 1. Maulid adat bayan; 2. Ritual menumbuk padi; 3. Ritual mencuci beras di saat kami ingin melaksanakan ritual adat," papar Sarbini Wati yang mengenalkan jong.
Agar kuat tidak lembek berdiri di kepala, jong bisa ditambahkan kertas manila dalam lipatan segitiga sebelum dikenakan.
Baca Juga: Kisah Perempuan: Menelisik Ketangguhan Perempuan Aceh di Masa Lalu
Ada tiga jenis tatupung sebagai penutup kepala perempuan Dayak Maanyan, yakni tatupung balik, tatupung rebe, dan tatupung bahuru. Tatupung balik bertujuan untuk mempercantik dan merapihkan penampilan perempuan saat acara adat seperti kematian dan hajatan.
Tatupung rebe lebih digunakan untuk melindungi kepala perempuan dari serangan terik matahari. Jenis tatupung ini biasa digunakan untuk kegiatan menanam, menumbuk, hingga memanen padi, yang dapat melingungi kepala, wajah, punggu, hingga kaki.
Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda
Sama dengan tatupung rebe, tatupung bahuruk biasanya digunakan untuk melindungi kepala. Biasanya tatupung ini digunakan oleh perempuan yang bekerja di perkebunan seperti karet, sehingga fungsinya lebih melindungi diri dari percikan getah, dan membawa benda berat di kepala.
"Secara kesluruhan, apabila perempuan Dayak menggunakan tatupung itu sudah siap bekerja dan membantu aktivitas masyarakat adat Maanyan. Artinya yang menutup wajah sampai punggung itu adalah sifat yang harus pantang mundur," Mama Endek dari Kalimantan Tengah menjelaskan.
Baca Juga: Dampak Bencana dan Perubahan Iklim terhadap Kaum Perempuan Sejagad
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR