Pihak Istana Presiden menjanjikan restorasi lukisan karya Raden Saleh berjudul "Penangkapan Pangeran Diponegoro" dapat dilakukan mulai 12 Agustus 2013. Keputusan diambil dalam rapat hari Selasa (30/7) di ruang Sekretaris Kabinet di Jakarta.
"Tanggal 12 Agustus dipilih karena ada libur Lebaran. Tak bisa dipaksakan lebih cepat lagi," kata Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) Catrini P Kubontubuh yang hadir dalam rapat itu, Rabu, di Jakarta.
(Baca juga: Malaysia Lebih Dulu Terbitkan Babad Diponegoro)
Rapat dipimpin Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan dihadiri Wakil Menteri Pendidikan Wiendu Nuryanti, perwakilan Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Jerman, serta Goethe Instute, dan YAD yang menggagas restorasi. Hasil rapat masih akan dilaporkan kepada Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi yang membawahkan Sekretaris Presiden.
Diharapkan tak ada perubahan tanggal lagi karena berdampak pada target penyelesaian restorasi lukisan. Restorasi dijadwalkan Januari 2013. Namun, proses penandatanganan nota kesepahaman (MoU) kerja sama dengan Kemendikbud memakan waktu hingga empat bulan.
Molornya penandatanganan MoU membuat restorator asal Jerman, Susanne Erhards, bekerja cepat. Ia kembali ke Jerman pada 30 September. Waktu untuk merestorasi sebuah lukisan 26 hari. Molornya MoU juga menyebabkan jumlah lukisan yang akan direstorasi hanya dua dari lima yang direncanakan. Lukisan karya Raden Saleh, menurut Susanne, merupakan mahakarya sehingga ia tidak ingin merestorasi dengan tergesa-gesa.
Lukisan-lukisan lain karya Raden Saleh pernah dipamerkan pada Juni 2012 silam di
Galeri Nasional, Jakarta. Saat itu, warga Tanah Air bebas melihat sekitar 42 karya yang sebelumnya tersebar di kolektor pribadi, Istana Negara, hingga Perpustakaan Nasional.
National Geographic Indonesia dalam edisi Mesi 2012 juga mengupas secara tuntas siapa sebenarnya Raden Saleh. Lengkap dengan penelusuran masa kecilnya hingga akhirnya ia menjadi pionir yang diakui dunia. Kisah lengkapnya di tautan ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR