Meskipun dalam kekalutan perang, pasukan Prancis tidak melupakan pemimpin tertinggi mereka. Thorn mencatat, “Pada 15 Agustus, hari ulang tahun Bonaparte dirayakan dengan dentuman meriam dari sejumlah pos pertahanan mereka, yang sebelumnya ditarik keluar dan diinspeksi oleh Jenderal Janssens.”
Thorn juga mendeskripsikan pertempuran itu dengan dramatis. “Sejumlah peluru dan roket ditembakkan. Kemudian ledakan hebat disusul abu kuning kehijauan, asap, dan berbagai pecahan berhamburan di depan kami bagai gunung api, yang membuat tuli sekeliling, baik kami maupun musuh.” Dia lalu menambahkan, “ Bencana ini dibarengi dengan keheningan yang mengerikan untuk beberapa saat.”
Tampaknya serdadu Inggris harus menghadapi pertempuran sengit dengan musuh bebuyutannya di Cornelis. Setidaknya mereka harus mati-matian merebut benteng itu selama 17 hari! Bagi pihak Inggris, pertempuran selama itu telah mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.
Pertempuran demi pertempuran terus berlanjut yang berakhir dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, dekat Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Inggris pun berkibar di benteng-benteng seantero Jawa.
Pertempuran Meester Cornelis meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar Jatinegara. Konon, di sebuah kawasan yang dulunya banyak mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Prancis itu warga menjulukinya dengan Rawa Bangke. Nama kampung itu masih tercetak dalam peta Batavia 1930-an. Kini, kampung tersebut berubah nama menjadi Rawa Bunga.
Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya: “Lieutenant-Colonel Campbell”. Serdadu malang itu akhirnya tewas dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah lahan di dekat Pasar Baru.
Beberapa tahun kemudian, di pusaranya terdapat sebongkah batu nisan dengan ukiran penanda. Janda Campbell mengekspresikan perasaannya pada nisan itu, “Here lie the Remains of lieutenant-colonel WILLIAM CAMPBELL of His Britannic Majesty’s 78th regt. Who died on 28th of Augs. 1811, of wounds received on the 26th of that month, while bravely leading on his Regt. To attack the strongly fortified Lines of Cornelis defended by a gallant enemy. To him who living was beloved by all for his gentle manners and his many virtues who in Death merited and received the applause of his country to him the companion of many years and the father of his children, this frail memorial of unperishing reward is erected by his afflicted widow.”
Kemudian makamnya menjadi bagian halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Sekitar seratus tahun setelah Perang Napoleon di Meester Cornelis , makam Campbell tetap tidak tergusur. Namun, ada seseorang yang iba karena makam kolonel malang itu sudah beralih fungsi sebagai papan cuci. Akhirnya, pada November 1913 nisan dan sisa jasadnya dipindahkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR