Pada 1975, tarif untuk membawa material sampai ke tujuan dalam sekali angkut berkisar Rp150. Komunitasnya juga masih bertahan hingga hari ini. "Pasca kemerdekaan hingga hari ini, masyarakat Bantul, Yogyakarta, masih melestarikan paguyuban para penarik gerobak sapi" tulis Dito Ardhi Firmansyah dalam karyanya yang berjudul Kontruksi Makna Kata Bajingan (Studi Etnografi Perubahan Makna Kata Bajingan dalam Komunitas Kusir Gerobak Sapi di Bantul Yogyakarta), publikasi tahun 2018.
Desanti Arumingtyas Dyanningrat dalam karyanya berjudul Perancangan Buku Nilai Sejarah Dan Filosofi Mataram Islam Pada Gerobak Sapi, publikasi tahun 2018 menjelaskan bahwa "dalam kultur budaya Jawa kusir gerobak sapi disebut 'bajingan', singkatan dari bagusing jiwo angen-angening pangeran yang artinya orang baik yang dicintai Tuhan".
Ia menambahkan, "Mulianya, pada saat perjuangan kemerdekaan, bajingan jadi salah satu opsi dalam perang geilya untuk persembunyian para pejuang dibalik rumput dan hasil panen dalam gerobaknya". Lantas mengapa belakangan, kata 'bajingan' cenderung menjadi sentimen di masyarakat sekarang?
Baca Juga: Seorang Pria Mengaku Bunuh Istrinya, tapi Umur 'Jasadnya' 1.600 Tahun
"Nak, jika mereka memberitahumu bahwa aku adalah bajingan yang tidak memiliki keberanian melakukan keadilan, bahwa banyak ibu yang meninggal karena kesalahanku…" sepenggal tulisan Multatuli dalam bukunya Max Havelaar, terbitan tahun 1860. Tulisan yang mengindikasi penggunaan kata 'bajingan' sebagai bentuk umpatan sejak abad ke-19.
Bajingan yang populer di Jawa pada awal 1900 hingga 1940-an, menjadi kendaraan yang cukup langka di wilayah pelosok Yogyakarta. Masyarakat kerap turut dalam gerobak yang ditarik sapi atau kerbau untuk keluar menuju kota, baik untuk berdagang, sekolah, hingga bekerja. Transportasi ini selain langka, juga berjalan dengan lambat, sehingga waktu melintasnya tak tentu. Kerap kali karena para calon penumpang sambat (mengeluh) setelah lama menunggu.
"Bajingan kok suwe tekone" (Bajingan kok lama datangnya), atau "Bajingan gaweane suwe!" (Bajingan lambat kerjanya/jalannya). Seringnya keluhan-keluhan tersebut dilontarkan, kata 'bajingan' kemudian mengalami pergeseran makna.
Baca Juga: Studi atas Kuburan Massal Kuno di Kroasia Ungkap Sisi Gelap Manusia
Meski awalnya merupakan nama profesi yang mulia, istilah tersebut kemudian berubah menjadi kata umpatan atau makian karena kerap mengecewakan para calon penumpang. Setelah berkembangnya teknologi dan alat transportasi di Indonesia, banyak masyarakat yang kemudian beralih pada alat transportasi yang lain. Hal ini juga menyebabkan semakin langkanya profesi bajingan di wilayah Jawa.
Bersamaan dengan itu, penempatan kata 'bajingan' dalam kehidupan sehari-hari, kini telah menjadi tabu dan cenderung negatif. Meskipun tidak dapat dipungkiri, istilah bajingan juga sudah semakin jarang digunakan di luar wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Perubahan zaman telah memengaruhi kehidupan anak muda. Para millenials akan lebih akrab dengan kata 'anjay' atau 'anjir'.
Baca Juga: Angkong, Gerobak Roda Dua yang Menjadi Transportasi Primadona Asia
Megathrust Bisa Meledak Kapan Saja, Tas Ini Bisa Jadi Penentu Hidup dan Mati Anda
Source | : | Eprints.ums.ac.id,Digital Library ISI Surakarta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR