Dengan memikul keranjang kayu berisi bongkahan belerang seberat 90 kilogram, Cholik (45) berjalan tergopoh memasuki pos penimbangan di Paltuding, kaki Gunung Ijen, Jawa Timur, Senin (11/11). Dia baru saja turun dari kawah yang berjarak 3,8 kilometer dari Paltuding.
Warga Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, tersebut merupakan satu dari sekitar 350 petambang belerang yang menyandarkan hidup dari Kawah Ijen. Aktivitas mereka dimulai sebelum fajar menyingsing.
Para petambang menjual belerang seharga Rp780 per kilogram (kg) kepada PT Candi Ngrimbi, satu-satunya perusahaan yang memiliki lisensi atau izin pemanfaatan kawasan taman wisata alam di Gunung Ijen. Penghasilan setiap petambang tergantung jumlah belerang yang dipikul.
Cholik, misalnya, mendapat Rp69.000 dari berat bersih 86 kg belerang setelah dikurangi berat keranjang kayu 4 kg. Setiap petambang dalam sekali angkut mampu membawa belerang 60-100 kg. Dalam sehari, mereka dapat mengangkut dua kali dari kawah. ”Untuk hari ini, saya cukup sekali angkut saja, sebab ada keperluan yang mendesak, sekarang sudah ditunggu istri di rumah,” kata Cholik.
Merangkap pemandu
Sebaliknya, Saekoni (35), justru meliburkan diri dari aktivitas menambang belerang pada hari itu. Dia memilih memandu pengunjung yang ingin turun ke Kawah Ijen. Setelah mendapat imbalan dari jasanya itu, dia segera kembali ke tempat tinggalnya di Desa Kluncing, Kecamatan Licin, sekitar 24 kilometer dari Paltuding.
Di rumahnya yang sebagian masih beralaskan semen kasar, Saekoni tinggal bersama istri dan anaknya. Dalam seminggu, dia hanya 3-4 kali menambang belerang. ”Tadinya saya menambang setiap hari, tetapi sekarang sudah tidak lagi sejak cicilan sepeda motor sudah lunas. Hari ini saya mau ngarit, cari rumput buat pakan ternak,” ujar pria yang menambang belerang sejak lima tahun lalu.
Sebelum menambang belerang di Ijen, Saekoni pernah berjualan es krim tradisional di Bali serta bekerja serabutan di Surabaya. Dia memutuskan jadi petambang setelah diajak temannya. ”Penghasilan di sini lebih lumayan. Apalagi kalau dapat tambahan dari guide (pemandu) turis,” ucapnya.
Sejak ramai dikunjungi turis asing, para petambang belerang di Ijen memang turut kecipratan berkah. Setiap petambang diberi imbalan Rp200.000-Rp300.000 dalam sekali jalan menemani turis asing. Untuk mendampingi wisatawan lokal, mereka mendapat uang jasa Rp100.000-Rp150.000, tergantung kesepakatan.
”Dalam sebulan, paling banyak empat sampai lima kali menemani turis. Itu pun pas bulan Juli sampai November, saat ramai-ramainya turis datang,” kata Saekoni.
Upaya pemkab
Melihat kondisi itu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas memberi dukungan positif. Para petambang pun diberi kaus bertuliskan I Love Banyuwangi dan sepatu bot secara gratis.
”Menghadapi wisatawan yang baru datang ke sini, kami diminta bersikap sopan dan tidak boleh memaksa wisatawan yang ingin naik ke puncak sendiri,” kata Saekoni seraya menunjukkan kausI Love Banyuwangi yang dikenakannya.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memfasilitasi kursus bahasa Inggris secara gratis bagi warga Kecamatan Licin yang hendak jadi pemandu. Tak heran jika beberapa pemandu mampu bekerja secara profesional, termasuk berkomunikasi menggunakan bahasa asing.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR