Langit ditaburi ribuan bintang saat Fred (25) dan Fabrice (27) tiba di bibir Kawah Ijen, Jawa Timur, Selasa (12/11). Dua turis Prancis itu tertegun memandang semburat api berwarna biru yang berkobar di hadapan mereka. ”Menakjubkan,” kata Fred.
Bau belerang yang menusuk tak membuat Fred dan Fabrice menjauh dari lokasi. Seperti juga wisatawan lain, mereka berdiri beberapa meter dari geliat api yang menyala biru terang sambil menjepret tombol rana kamera dengan bantuan flash.
Mengabadikan api biru saat tiba di Ijen memang layaknya sebuah keharusan. Api biru berpendar begitu gelap datang dan pudar menjelang pagi. Sebagian besar wisatawan memilih mendaki Ijen pada tengah malam atau dini hari karena ingin menyaksikan juga matahari terbit dari puncak Ijen.
Dua lelaki asal Marseille, Prancis, itu pun mulai beranjak dari lokasi api biru begitu sinar mentari perlahan menggantikan pekat malam. Mereka menuju puncak Ijen yang berketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut dan bergegas kembali ke Paltuding, kaki gunung tersebut.
Fred dan Fabrice sudah tiga minggu berada di Indonesia. Setelah berwisata ke Lombok dan Bali, mereka menyempatkan singgah ke Kawah Ijen demi menyaksikan api biru dalam perjalanan menuju Jakarta. ”Seorang teman merekomendasikan Ijen untuk dikunjungi. Dia benar, tempat ini ternyata indah sekali,” kata Fred.
Tak hanya mereka, puluhan wisatawan asing yang sebagian besar tiba saat langit masih gelap memenuhi Ijen hari itu. Ada yang menggunakan jasa petambang belerang sebagai pemandu. Ada pula yang memilih tanpa pemandu.
Dari Paltuding, kaki Ijen yang menjadi gerbang pendakian, wisatawan harus berjalan kaki sekitar 3,8 kilometer menuju kawah. Medan tanah bercampur pasir yang cukup menanjak umumnya membuat napas tersengal dan batuk. Di tengah jalan, turis dapat berinteraksi dengan para petambang.
Fenomena api biru di Ijen telah mendunia. Tak heran jika turis asing silih berganti mengunjungi. ”Dua tahun terakhir, api biru menjadi idola para turis yang ke Ijen. Makanya, banyak yang datang pada malam hari,” ujar Saekoni (35), petambang belerang yang juga menjadi pemandu. (Baca: Mengais Berkah di Gejolak Kawah)
Kepala Bidang Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah III Jatim Sunandar Trigunajasa mengakui, wisatawan yang ke Ijen awalnya ingin menyaksikan petambang belerang dan matahari terbit. Namun, dua tahun terakhir, fenomena api biru yang ada di kawah menjadi daya pikat utama.
Berdasarkan data BKSDA Jatim, pada Oktober 2010, saat api biru belum menjadi bagian dari promosi Ijen, hanya 899 turis asing dan 226 turis lokal yang berkunjung ke Kawah Ijen. Namun, pada bulan yang sama tahun 2013, ada 1.105 wisatawan asing dan 5.195 turis domestik.
Potensi Ijen ini membuat pemerintah setempat kian gencar mempromosikannya. Dua tahun terakhir, misalnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengadakan kompetisi balap sepeda taraf internasional tahunan Tour de Ijen.
Jalan raya dari pusat kota Banyuwangi menuju Paltuding pun dibikin mulus guna mendukung perhelatan ini. ”Tour de Ijen merupakan promosi ekowisata yang dikemas dalam konsep olahraga,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Gunung Ijen Bambang Heri Purwanto mengatakan, nyala api biru di Ijen bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia vulkanologi. Hampir di semua gunung api aktif terdapat nyala api yang dipicu terbakarnya gas metana oleh rembesan panas bumi. Untuk memantik api biru, temperatur dari perut bumi bisa mencapai ribuan derajat Celsius. Yang unik di Ijen adalah api biru dapat muncul sepanjang malam dengan suhu dari dalam perut bumi hanya sekitar 600 derajat celsius. Apa penyebabnya? Tak lain adalah kandungan belerang Ijen yang begitu besar.
”Panas yang merembes lewat celah gas panas bumi membakar belerang dan memunculkan api berwarna biru. Api biru yang seperti ini satu-satunya di Indonesia, bahkan mungkin tak ada duanya di dunia,” kata Heri.
Menurut Heri, potensi belerang di Ijen dapat mencapai 60 ton per hari. Dari jumlah itu, hanya 20 persen atau sekitar 15 ton yang dimanfaatkan oleh sekitar 350 petambang belerang. ”Sisanya menguap menjadi asap. Kalau malam ya yang terbakar menjadi api biru itu,” jelasnya.
Penelitian mengenai api biru ini masih minim. Namun, dia meyakini api biru di Ijen dapat sewaktu-waktu sirna jika terjadi perubahan struktur gunung Ijen. Alasannya, semburat api biru ini tergantung dari kadar belerang yang ada di Ijen.
Perubahan struktur dimungkinkan jika Ijen meletus. Gunung Ijen terakhir kali meletus pada 30 Oktober 1976. Untuk saat ini, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menetapkan status Ijen menjadi Waspada (Level II) pada 26 Agustus 2013. Sebelumnya, gunung ini berstatus Siaga selama lebih dari setahun. Dengan segala keunikannya, Ijen menjadi destinasi yang tak ada duanya di Indonesia, bahkan di dunia.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR