Stadion Utama yang hampir berbentuk oval, sumbu panjang (utara-selatan) 354 m, sumbu pendek (timur-barat) 325 m dikelilingi jalan lingkar 920 m. Bagian dalam ada lapangan sepakbola 105 x 70 m, berikut lintasan oval atletik, sumbu panjang 176,1 mr dan sumbu pendek 124,2 m.
Yang menonjol adalah konstruksi atap yang disebut Temu Gelang, sebutan Bung Karno dari gelang Candrakirana, senjata Bima – kecintaannya pada Wayang juga tercitra dari Patung Sri Rama yang menyambut di 2 gerbang utama, Plaza Timur dan Plaza Barat.
Seluruh tribun tertutup atap. Ini permintan Bung Karno agar seluruh yang hadir terlindung. Saat itu, stadion utama di negara lain hanya punya atap di tribun VIP karena para ahli teknik mereka belum menemukan rancangan cerdik dan baik hati yang memikirkan bahkan penonton biasa ini. Sampai kini, Stadion Utama yang bisa menampung 110.000 penonton masih tercatat sebagai salah satu stadion terbesar di dunia.
Indonesia juga menyiapkan sekitar 400 atlet digembleng pelatih terpilih dari luar negeri. Hasilnya, Indonesia berada di peringkat kedua, lebih baik daripada target peringkat ketiga, di bawah Jepang dengan 11 emas, 12 perak, 28 perunggu. Pada Asian Games III/1958 di Tokyo, Indonesia masih di tempat ke-10 dengan beberapa perunggu.
Dari Senayan, Indonesia yang baru 17 tahun merdeka berhasil menunjukkan kemampuannya dengan bangga. Sebutan Gelanggang Olahraga Bung Karno ditetapkan pada 24 September 1962 yang pengelolaannya diserahkan pada Yayasan Gelora Bung Karno (YGBK).
Asian Games IV punya ‘buntut’ politik. Penolakan atas Israel dan Taiwan membuat Asian Games IV tak diakui dunia. Ini mendorong Soekarno menggelar Game of the New Emerging Forces (Ganefo) di 10-22 November 1963. Juga menggalang Conference of the New Emerging Forces (Conefo) dengan membangun ‘kompleks politik’ (kini Gedung MPR/DPR). Sejak 3 September 1965, YGBK menjadi Yayasan Gelora Bung Karno & International Political Venues (YGBK & IPV).
Kesulitan ekonomi Indonesia membuat pemerintah sejak 1 Januari 1966 menghentikan subsidi bagi YGBK & IPV, dan YGBK berubah jadi Yayasan Gelanggang Olahraga Senayan (YGOS). Tanpa subsidi, menggandeng mitra usaha untuk membangun sarana olahraga dan non-olahraga. Antara lain: Lapangan Golf 20 ha (1968), Golf Driving Range (1970), Hotel Hilton (13 1971), dan Balai Sidang Jakarta (1974).
*) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol II No.02, Maret-April 2010, hlm.26-31
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR