Orang di tepi sungai Masen membangun rumah di atas pohon, menyiapkan meriam karbit hingga menanam kopi yang membuat gajah enggan masuk ke dusunnya. Hidup bersama kawanan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang liar di pedalaman Sumatera telah mereka lakoni bertahun-tahun.
Rusli merapal permintaannya di Dusun Selamat, Desa Teupin Asan, Kecamatan Darul Hikmah, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, pada Minggu, 8 Desember 2013.
“Bek neganggu kamoe, jak keudeh mita reuzeki hoe laen (jangan ganggu kami, tolong pergilah cari rezeki ke tempat lain),” bisik hatinya di tempat seekor gajah betina ditemukan mati November 2013 lalu.
Gajah itu, kata Rusli, ditemukan sudah tak bernyawa di dalam sungai. Bau bangkai busuk menyengat hidung. Tubuh besarnya tersangkut ranting pepohonan di pinggir sungai Masen. Air sungai yang kecil tak mampu menghanyutkan bangkai itu hingga ke laut.
Warga dusun sudah mencoba mencari tempat agar gajah itu dapat dikuburkan. Tapi nihil, pinggiran sungai terlalu terjal. “Pilihannya hanya satu, mendorongnya agar hanyut,” kenangnya.
Dari berbagai informasi, kematian gajah bukan terjadi sekali itu saja. Beberapa kali terjadi kasus serupa di berbagai daerah Sumatera termasuk Riau dan Lampung. Kasus yang paling menyita perhatian adalah kasus kematian gajah geng di Kecamatan Sampioniet, Aceh Jaya, pada Juli 2013.
Rusli dan sembilan kepala keluarga lainnya di dusun itu merasakan sedih. Menurut dia, selama ini mereka hidup berdampingan tanpa konflik berarti. “Gajah hanya datang sesekali dengan rombongannya sekita 10 hingga 25 ekor. Mereka hanya mencari makan dan numpang lewat dipinggiran dusun. Kalau pun ada yang masuk ke dalam kebun dan memakan tanaman, kami menganggap itu rezeki mereka,” paparnya.
Bagi Rusli, gajah bukanlah musuh yang harus dibunuh. Dia menceritakan pengalamannya menyelamatkan anak gajah pada pertengahan 2011. Pada saat itu, ada seekor anak gajah yang terperosok ke dalam sumur. Dia bersama warga dusun lainnya mencari kayu untuk mengangkat anak gajah ke permukaan.
Mereka menggali lubang lain di pinggir sumur dan memasukkan kayu untuk dijadikan tangga. Beberapa orang lain mendorong anak gajah dari belakang hingga anak gajah itu keluar dari jebakan sumur.
Pengalaman Rusli ini memberikan kekuatan kepada dirinya dan keluarga lain di Dusun Selamat. Bahasa batin yang mereka sampaikan agar gajah tidak mengganggu dipercaya menjadi bagian dari daya ingat gajah yang anaknya diselamatkan itu.
Dia menjelaskan, kalau rombongan gajah lewat, kerap terdengar suara ranting patah atau dengan bunyi terompet dari belalainya.
Kalau makanan tersedia banyak, mereka akan lama menetap. Tapi sebaliknya, kalau tidak banyak makanan, mereka akan segera berlalu.
Kawanan gajah akan menempuh jalur yang sama. Periode tidak menentu, biasanya tergantung dengan ketersediaan makanan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR