Nationalgeographic.co.id—“Anda tertarik untuk mengetahui The Djakarta War Cemetery,” tulis Karen Loizou dalam surelnya kepada saya. “Penata laksana permakaman kami sangat berpengetahuan tentang situs tersebut. Saya berharap kunjungan Anda nantinya terwujud."
Karen merupakan seorang administrator dari Commonwealth War Graves Commission (CWGC) yang berkantor pusat di Berkshire, Inggris. Sebanyak 1,7 juta lelaki dan perempuan pasukan Persemakmuran telah binasa dalam Perang Dunia Pertama dan Kedua. Lembaga ini mengelola permakaman dan monumen tentang mereka di 23.000 lokasi yang tersebar di 153 negara, salah satunya di Indonesia.
Saya memasuki pintu gerbang The Djakarta War Cemetery, menyaksikan panel perunggu yang mengenang nama-nama 53 serdadu Inggris dan 5 serdadu Australia, dan 72 dari rekan-rekan mereka yang namanya tidak dikenal. Mereka yang tak dikenal itu tewas dieksekusi oleh Jepang di Subang pada tahun 1942, kemudian dimakamkan di Taman Makam Kehormatan Ereveld Ancol.
Halaman selanjutnya...
Saya bertanya kepada Sutiadi Aripin, penata laksana permakaman CWGC, tentang beberapa makam yang saya temui dengan label “burried near this spot” di nisannya. “Artinya dahulu memang dia dimakamkan di dekat sini. Cuma kemudian ditata ulang ketika makam ini dibuat,” jawabnya. “Jumlah makam yang berlabel tersebut ada 43 makam.”
Jumlah makam seluruhnya ada 1.181 makam—sebanyak 236 makam merupakan korban tak dikenal. Mereka beragam bangsa, 715 asal Inggris, 304 India, 96 Australia, 4 Kanada, 2 Selandia Baru, 1 Afrika, 1 Burma, 22 Melayu, dan 36 lain-lain.
Awalnya permakaman mereka tersebar di Jakarta, Surabaya, Palembang, Medan, dan Muntok. Namun, pada 1961 Pemerintah Republik Indonesia meminta Inggris untuk memusatkan permakaman pasukan Persemakmuran itu di Jakarta, bersebelahan dengan Taman makam Kehormatan Belanda di Mentengpulo.
Salah satu dari sekian ratus makam yang dipindahkan ke Jakarta adalah seorang brigadier yang tewas dalam kekacauan, justru saat kesepakatan genjatan senjata. Dia tewas di depan gedung Internatio Surabaya, dekat Jembatan Merah. "Brigadier A.W.S. Mallaby., CIE.,OBE. 2nd Punjab Regiment, 30th October 1945 Age 45. More brave for this, that he hath much to love" demikian prasasti pada nisan nomor 5. G. 2 di The Djakarta War Cemetery.
Baca Juga: Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan
Tewasnya Mallaby menjadi pemicu pemboman besar-besaran yang dilakukan Inggris di Surabaya, kelak dunia mengenangnya sebagai "Pertempuran Surabaya". Bagi Republik Indonesia, kecamuk pertempuran dan pengorbanan rakyat terbesar pascaproklamasi kemerdekaan itu dikenang setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan.
“Jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur,” tulis Batara R. Hutagalung dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? “Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan.”
Beberapa tahun silam, saya pernah berjumpa dengan Soekarjono. Saat itu dia masih menjabat sebagai Opzichter di Taman Makam Kehormatan Ereveld Kembang Kuning Surabaya—pusara para korban perang di pihak Belanda. Mallaby dan para serdadu persemakmuran pernah dimakamkan di Ereveld Kembang Kuning, sebelum akhirnya dipindahkan ke Jakarta, demikian paparnya. Sambil menunjuk sebuah rumah di kompleks Ereveld Kembang Kuning, dia berkata, "Tempat mereka dimakamkan, sekarang ini menjadi rumah dinas saya."
Baca Juga: Piet Voorn, Pemilik Studio Fotax yang Membekukan Masa Lalu Surabaya
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR