Kipas sudah dikenal sejak dulu, ada dalam kebudayaan masa silam seperti Romawi kuno, Mesir, Yunani, atau Cina.
Bukti paling awal, kipas ditemukan pada waktu penggalian mumi Tutankhamun, seorang raja Mesir yang hidup pada abad ke-13 SM.
Kalau Anda pernah melihat adegan di film tentang raja masa silam yang dikipasi dayang-dayang, kira-kira memang mirip itu gambaran aslinya. Jika melihat sejarah kipas di balik istana, seperti dari kerajaan Mesir dan Cina, terlihat kipas kebanyakan terbuat dari bulu burung merak. Bulunya juga bukan sembarangan. Terutama yang bermotif seperti mata, karena dipercaya melambangkan perlindungan terhadap pemiliknya.
Ketika ia menjadi bagian dari mode, di Eropa abad pertengahan, bahan yang dipakai menjadi sangat variatif, karena disesuaikan dengan busana pemakainya. Ada bahan kertas, renda, sutera, atau aneka tekstil lain.
Sebelum kertas dan kain lazim dipakai, kipas malah sempat dibuat dari kulit binatang (vellum) seperti kulit antelop, rusa, atau kambing. Kipas kulit yang dilukis ini umumnya buatan abad ke-16 dan 17.
Gagang kipas juga dibuat dari bahan yang tak kalah mewah. Bisa dari kulit tempurung kura-kura, gading, tulang, kulit kerang, logam, atau kayu terbaik. Kipas juga dirancang sangat dekoratif, dihiasi permata, dipernis, atau disepuh. Maklum, umumnya yang punya Cuma kaum bangsawan.
Melewati sekian zaman, bentuk kipas sebenarnya tak banyak berubah, atau seperti kipas yang bisa kita lihat sampai sekarang. Terdiri atas beberapa daun kipas, kalau dibuka berbentuk setengah lingkaran. Ada pula jenis kipas yang daun-daunnya disatukan dengan bahan tertentu. Bahan itu biasanya yang dihias. Ada lagi jenis kipas cockade, yang ketika dibuka bentuk daun-daunnya berupa lingkaran penuh.
Hiasan pada kipas biasanya berbentuk lukisan. Ada yang menggambarkan dongeng, mitologi, cerita keagamaan, atau peristiwa budaya tertentu, tergantung pada masanya. Di masa Revolusi Prancis, kipas malah sempat menjadi alat yang ampuh untuk menyatakan sikap politik pemiliknya.
Pada sekitar abad ke-16, sejarah kipas juga bisa dilihat dari sisi pergaulan. Terutama antara pria dan wanita, di acara-acara pesta. Mungkin karena saat itu belum ada layanan pesan singkat atau SMS, kipaslah yang jadi alat komunikasinya. Gerakan-gerakan kipas dipakai untuk memberi kode-kode tertentu kepada seseorang.
Tentu saja biar pembicaraan nyambung, antara pria dan wanita harus sama-sama tahu setiap gerakan dan artinya. Bahasa gaul ala kipas ini pun menjadi bahasa setengah resmi, panduannya bisa dilihat di buku-buku etiket pergaulan.
Salah satunya: The Original Fanology or Ladies Conversation Fan karangan Charles Francis Badini yang terbit di London tahun 1797.
Inilah beberapa contohnya:
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR