Pukul 21.00 WIT, semua jalan utama di Sofifi, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, lengang. Dalam waktu lima menit, sepeda motor dan mobil yang melintas bisa dihitung dengan jari tangan. Bentor, becak bermotor yang menjadi moda transportasi utama di kota itu, tak beroperasi lagi.
Di beberapa tempat, pemilik rumah makan membereskan sisa makanan, kemudian menutup pintu, mematikan lampu. Pedagang aneka gorengan yang beroperasi mulai pukul 16.00 tidak lagi terlihat. Mereka pergi membawa gerobak jualannya.
Rumah penduduk di sisi jalan yang sebagian masih semipermanen tertutup rapat. Tak ada aktivitas warga di luar rumah, yang ada hanya beberapa anak muda yang duduk di posko kecil. Agak sulit mengetahui alamat pasti beberapa tempat yang dilewati karena hampir semua jalan belum memiliki papan petunjuk nama jalan.
Keesokan harinya, sekitar pukul 05.30, semua ruas jalan di Sofifi masih tetap sepi. Hampir lima menit berlalu, jalan utama menuju tambatan perahu Sofifi baru dilewati sebuah mobil dan dua sepeda motor. Tiga kendaraan itu diketahui membawa warga yang hendak menyeberang ke Ternate menggunakan kapal cepat.
Itulah suasana yang dirasakan pekan lalu. Kondisi itu jelas berbeda dengan ibukota provinsi lain di Indonesia.
”Seperti ini Sofifi. Jika sudah malam, untuk membeli makanan agak susah karena hampir semua warung makan ditutup. Bentor juga tidak jalan lagi,” kata Ambo Ali, tukang ojek.
Dia mengatakan, untuk membantu tamu yang bermalam di Sofifi, ia selalu menitipkan nomor telepon genggamnya. Dengan begitu, sewaktu-waktu tamu bisa menghubunginya. ”Mau keluar malam atau pagi-pagi silakan saja menghubungi saya. Insya Allah saya bisa bantu,” kata dia.
Sebuah kelurahan
Kendati berstatus kota provinsi sejak ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara (Malut), Sofifi merupakan sebuah kelurahan. Sofifi terletak di Pulau Halmahera, termasuk wilayah Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan.
Sekretaris Kelurahan Sofifi Bakri Muhammad mengatakan, fasilitas umum yang dibangun di kota itu dan beberapa desa sekitarnya masih sangat minim. Fasilitas umum yang ada antara lain satu unit stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, satu puskesmas rawat inap yang memiliki delapan kamar, satu hotel, dan lima penginapan kecil.
Menurut dia, tidak ada perubahan yang berarti dalam pengembangan kota sejak ditetapkan sebagai ibu kota provinsi. Akibatnya, suasana kota masih tetap seperti desa. Jika dibandingkan dengan beberapa kota kecamatan di daerah lain, terutama di Pulau Jawa, boleh jadi ibu kota provinsi Malut lebih sepi.
Dia berharap fasilitas pelayanan publik harus diutamakan. ”Yang paling mendesak sekarang adalah harus membangun sebuah rumah sakit. Oleh karena fasilitas di puskesmas rawat inap tidak memadai, banyak pasien yang dirujuk ke Ternate. Tak jarang kondisi pasien sudah kritis, tak bisa diselamatkan sebelum tiba di Ternate,” ujar Bakri.
Diakuinya, suasana kota mulai ramai ketika kegiatan perkantoran di lingkungan Pemerintah Provinsi Malut dimulai awal Januari 2010, atau sekitar 10 tahun setelah penetapan sebagai ibu kota provinsi. Namun, hal itu hanya terjadi pada pagi dan siang hari karena hampir 99 persen dari sekitar 300 pegawai negeri sipil memilih pulang ke Kota Ternate setelah selesai bekerja.
Kondisi Sofifi yang belum menjawab kebutuhan masyarakat diyakini menjadi penyebab utama PNS memilih tetap tinggal di Ternate. ”Lebih baik pulang pergi setiap hari dengan kapal ketimbang tinggal di Sofifi. Alasannya, karena Sofifi belum menjawab kebutuhan kami, mulai dari kebutuhan dasar, pendidikan, termasuk juga rekreasi,” kata Hasib, staf di Biro Hukum Sekretariat Daerah Pemprov Malut.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR