Para pejalan asing kerap melewatkan Jakarta sebagai destinasi wisata, atau bahkan warga kota ini sendiri enggan mencari tempat pelesir dalam kota? Kondisi ini kerap terjadi, karena dalam bayangan mereka, Jakarta belum memiliki sudut-sudut andalan untuk dijelajahi.
Pendapat itu bisa disanggah, paling tidak dengan menyodorkan dua kawasan: Kota dan Menteng. Ini hasil percakapan National Geographic Traveler dengan Eleonore Astier-Petin, General Manager The Hermitage Menteng Jakarta, di lounge butik hotel premium tempatnya bekerja.
"Saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, saya merasakan bahwa kota ini adalah sebuah kota modern," ungkapnya. "Tetapi seiring berjalannya waktu, dapat ditemui bahwa Jakarta juga memiliki kawasan klasik, seperti Menteng dan Kota. Untuk dapat mendatangi, melihat dan merasakan kawasan klasik, memang memerlukan waktu tersendiri. Inilah yang menumbuhkan kesadaran kita. Sebuah keinginan untuk ikut melestarikan bangunan-bangunan kuno atau klasik. Salah satu caranya yaitu menggelar kreasi hiburan yang dilangsungkan di Kota."
Hotel butik premium tempatnya bekerja, The Hermitage Menteng Jakarta, juga berangkat dari ide turut melestarikan bangunan bersejarah. Berlokasi di Jalan Cilacap No 1, Menteng Jakarta Pusat, tempat menginap dan bersantap premium ini dikelola oleh operator hotel GLA Hotels (berpusat di Paris) dan berafiliasi dengan The Leading Hotels of the World (LHW) di New York. Awalnya gedung berlanggam Art Deco ini merupakan kantor telekomunikasi Hindia Belanda, Telefoongebouw, didirikan pada 1923. Lantas melintasi sejarah panjang seperti menjadi kantor Bung Karno, kantor departemen pendidikan dan kampus sebelum diubah menjadi hotel.
Menurut Ibu Astier-Petin, yang membanggakan adalah: tamu The Hermitage Menteng Jakarta tidak sebatas berkebangsaan asing semata, melainkan juga warga Indonesia. Artinya, bangunan Art Deco yang dipertahankan rupa aslinya ini mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat lokal.
"Bila selama ini skyscraper atau bangunan tinggi disukai sebagian besar orang Indonesia, maka kini mereka juga mulai menilik bangunan klasik," lanjut perempuan asal Prancis ini dengan antusias. "Apalagi, sudah ada contoh dari kota-kota di Asia, seperti Singapura, Penang dan Hongkong."
Ibu Astier-Petin melanjutkan, "Baik tamu kami yang berasal dari luar atau pun dalam negeri, mereka mengagumi hasil restorasi kami dan kami sendiri berharap menjadi trend-setter untuk kawasan Menteng."
Di masa lalu, Menteng memang menjadi salah satu lokasi penting dalam komunitas masyarakat setempat. Banyak bangunan bersejarah dan bercorak kolonial berada di sini. Termasuk gedung yang kini menjadi bagian dari The Hermitage Menteng Jakarta. Kontribusi yang sudah dilakukan atas kawasan Menteng ini, imbuh Ibu Astier-Petin semoga kelak disusul para tetangga sekitar, sehingga akan bermunculan langkah-langkah restorasi di wilayah sekitar Menteng dan nantinya menghadirkan kawasan ini sebagai preserved area. "Juga menyangkut kawasan tetangga Menteng, yaitu daerah Cikini. Kondisinya perlu diperbaiki."
Ditanya pendapatnya tentang berapa lama kemungkinan kawasan Menteng dan Cikini serta Kota dapat membangun dirinya menjadi destinasi wisata Jakarta klasik, Ibu Astier-Petin menyebutkan, jangka lima tahun bisa dikatakan terlampau cepat. "Paling tepat adalah 10 tahun, tentunya dengan beberapa agenda seperti willingness atau kesediaan dari pihak pemerintah untuk memberikan projek kepada pihak perorangan sehingga tercipta investor privat yang dapat mengelola bangunan serta kawasan bersejarah," tuturnya lagi.
Sembari menunggu rencana-rencana renovasi serta pembentukan kawasan klasik Jakarta direalisasikan, mari luangkan waktu sejenak untuk menikmati sepotong nuansa sejarah yang ditawarkan Kota, Menteng maupun Cikini. Termasuk dengan bertandang ke The Hermitage Menteng Jakarta untuk memberikan apresiasi tentang restorasi yang sudah rampung dilakukan. Suasana Jakarta era 1920-an siap menyambut Anda, dalam warna bangunan dominan putih dipadu kontras warna cokelat tua sebagai aksen. Untuk bersantap di The Hermitage Menteng Jakarta, silakan menuju tautan ini.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR