Kehidupan alam fana dan alam baka, berbatas tabir begitu tipis. Begitulah gambaran saat kami—saya dan suami tercinta—berlibur ke Mesir dan menyusuri El ’Arafa atau Cairo Necropolis di bagian timur Kota Kairo. Bisa disebut, ini tujuan wisata alternatif selain berpelesir naik felucca (perahu) di Sungai Nil atau menengok Piramida Giza serta Sphinx di kota yang sama.
El ‘Arafa atau Qarafa, yang dalam bahasa Inggris disebut City of the Dead adalah kompleks permakaman raksasa, dengan panjang poros utara-selatan mencapai sekitar 6,4 kilometer. Ia memiliki dua wajah, yaitu sebagai tempat peristirahatan terakhir, sekaligus permukiman penduduk. Setelah melewati semacam gerbang, Anda bisa menemui kehidupan keseharian warga setempat. Seperti penjual roti pita–roti tradisional berbentuk bulat yang dimatangkan menggunakan tungku—menjajakan dagangan, pedagang jeruk dengan gerobak, serta anak-anak lelaki bermain bola.
Makin ke tengah, tampil sosok permukiman yang cukup kumuh, dengan bangunan berwarna dominan cokelat bata. Tampak jemuran melambai-lambai di atas lorong, berdampingan dengan pintu-pintu masuk menuju beberapa masjid. Kejutan yang didapati: begitu kaki menapak masuk ke tempat peribadatan ini, arsitektur Kesultanan Mamluk dengan ornamen nan kaya bakal memesona Anda. Syahdu sekaligus romantis. Kami pun dibuat lupa sejenak oleh suasana sekeliling City of the Dead yang centang perentang saat berada di dalam masjid.
Setelah itu, sampailah kami di kawasan berpenghuni ribuan batu nisan umum serta bangunan-bangunan mausoleum untuk pekuburan keluarga. Satu dan lainnya terhubung oleh lorong-lorong bak labirin. Dan tentu saja: tanpa dilengkapi papan penunjuk. Sembari menyusuri blok-blok permakaman, Anda dapat memilih: ingin singgah dan mengabadikan diri di kompleks permakaman eksklusif atau sederhana. Mulai rumah kecil terbuat dari pualam sampai nisan-nisan dicat warna hijau nan pudar bisa ditemukan di sini.
“Banyak alasan mengapa orang-orang bisa bertahan tinggal di antara makam,” kata Ahmed Fadh, seorang pengurus masjid yang mengantar kami berkeliling. “Pertama karena alasan sentimental, ingin selalu berada di dekat orang yang meninggal, karena begitu dalam cintanya. Ada juga yang tinggal di dekat mausoleum keluarganya agar bisa merawat bangunan itu. Dan yang paling menyedihkan, ada yang tinggal di sini karena faktor ekonomi. Mereka-mereka ini tidak punya uang untuk mengontrak rumah tinggal.”
Ahmed Fadh sendiri, yang saat kami temui berusia 45 tahun, menyebut tinggal di situ karena merawat makam keluarga dan menjabat pengurus masjid. Ia mengajak kami singgah di sebuah rumah darurat yang dibuat di antara dua mausoleum. Atapnya berupa terpal yang diikatkan ke kedua atap bangunan makam, sedang dindingnya terbuat dari kayu bekas. Selain tidur di situ, pemiliknya kadang berbaring di lantai mausoleum. Sementara kegiatan memasak dan membuat teh dilakukan di depan mausoleum.
Ketika hari menjelang petang, Ahmed Fadh, mewanti-wanti, “Sebaiknya kalian tidak kemalaman di sini. Daerah ini bukan area yang aman bila matahari sudah terbenam.”
Kami memahami. Tentu saja, ia tidak bermaksud menakut-nakuti. El ‘Arafa begitu luas. Antara satu mausoleum dengan lainnya, antara kompleks permakaman dengan tempat penguburan di blok berikut, sampai bangunan rumah dan masjid membentuk labirin nan membingungkan. Konon, karena besarnya kawasan, seseorang yang asing dengan kawasan ini bisa saja tersesat sepanjang malam, bila tidak bertemu warga setempat untuk ditanyai arah.
Beruntung, Ahmed Fadh mengantar kami sampai setengah jalan. Dan setelah kami masuk ke lorong yang salah sebanyak dua kali, akhirnya kami tiba di jalan raya yang sama dengan cara kami masuk ke sini. Benarlah. Cairo Necropolis memang sangat luas!
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR