Nationalgeographic.co.id—12 Oktober adalah tanggal di mana Christopher Columbus mendarat di 'Dunia Baru' yang belum dikenal oleh orang Eropa sebelumnya. Pelayarannya yang fenomenal itu terus dikenang, bahkan menjadi hari perayaan di Amerika Serikat.
Sebuah ironi, mengingat Columbus tidak pernah sama sekali menyentuh daratan yang kini menjadi negara yang merayakannya. Sejatinya, itu disebabkan banyak kesalahan konsepsi orang Barat, sehingga mengagungkan dirinya atas pelayarannya. Apa sajakah itu?
Hingga kematiannya, Columbus tidak pernah mengetahui bahwa dia mendarat di kepulauan Bahama, yang dia namainya menjadi Hispaniola (sekarang menjadi Haiti dan Republik Dominika).
Dia hanya mengaku bahwa dirinya telah mendarat di Asia, untuk mendapatkan akses rempah. Walau kita ketahui dunia yang ditemukannya berbeda dengan Asia yang diungkap oleh Marco Polo, penjelajah Italia dua abad sebelumnya.
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, dia juga tiak pernah satu pun pengalamannya juga mendekati daratan yang kini disebut Amerika Serikat. Tetapi mengapa orang Amerika merayakannya?
Ternyata jawabannya sangat politis. Amerika Serikat dalam masa sejarahnya memiliki konflik dengan Inggris, bukan Spanyol. Ketika Inggris tiba di Newfoundland (kini bagian Kanada) pada 1497 oleh John Cabot, membuka jalan untuk kolonialisasi negerinya di sebagian besar Amerika Utara.
Mengutip Live Science, apa yang dilakukan Inggris adalah penjajahan bagi orang Amerika Serikat, dan menganggap Columbus sebagai pahlawan, bukan Cabot dari Inggris. Itu sebabnya ibu kota Amerika Serikat dinamai Washington D.C atau Distrik Columbia, bukan Distrik Cabot.
Popularitas Columbus menjadi melejit seolah dia adalah orang Eropa pertama yang menginjakkan kaki di benua Amerika. Padahal jauh sebelum itu, seorang Viking Leif Erikson sekitar tahun 1000 Masehi sampai di Amerika Utara, setelah menyusuri Greenland. Kedatangan Erikson juga dirayakan oleh orang Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Nordik setiap 9 Oktober.
Baca Juga: Christopher Columbus, Sebuah Kesalahan Penulisan Nama dalam Sejarah
Memang betul, banyak orang Eropa pada saat itu menganggap Bumi berbentuk datar. Jika kita terus berlayar terlalu jauh menembus cakrawala, kita akan terjatuh ke jurang tak berdasar.
Nyatanya, Columbus bukanlah penganut Bumi datar. Terbukti, dia memiliki salinan buku Geographia yang ditulis Claudius Ptolemy, seorang geografer dan astronom abad kedua Masehi.
Sebagian orang Eropa, selain Columbus, juga sudah lama mengetahui bentuk bulat Bumi. Pembuktiannya sudah dilakukan oleh Pytahagoras, matematikawan Yunani abad keenam SM, dan Aristoteles di abad keempat SM. Bentuk bulat dapat diketahui dari bayangan Bumi pada bulan, selain itu para pelaut juga sudah lama menyadari kelengkungan setiap mendekati daratan.
Ukuran keliling Bumi juga dipelajari oleh Eratosthenes menggunakan geometeri dasar di abad ketiga SM. Rujukan ini juga ada dalam catatan Ptolemy dalam Almagestnya-nya yang juga menjadi acuan orang terpelajar di seluruh Eropa pada masa Columbus.
Dalam catatan pelayarannya, para awak dan pengikutnya saat berlayar juga tidak ada yang gugup apa bila Bumi berbentuk datar, sehingga terjatuh ke jurang gelap.
Mengutip the Washington Post, Columbus belajar itu secara otodidak dan mengesampingkan lingkar Bumi. Dia juga beranggapan bahwa Eropa adalah benua yang lebih luas dari yang sebenarnya, menganggap Jepang lebih jauh ke timur dari pesisir Tiongkok dari yang kita ketahui.
Itu sebabnya dia pulau tempatnya berlabuh sebagai Jepang dan lebih dekat dari Eropa. Rupanya, perhitungan Columbus salah yang membuatnya mendarat ke sebuah tanah yang dianggapnya Asia hingga akhir hayatnya.
Baca Juga: Monumen Colombus, Kenangan Untuk Sang Penjelajah yang Kesasar
Haruskah Columbus disambut bak pahlawan hingga saat ini? Fakta ini membuat kita berpikir kembali tentang kelayakan itu padanya.
Kedatangannya pada 12 Oktober 1492 disambut hangat oleh orang Lucayan, penduduk asli kepulauan Bahama. Melihat kapal layar menjulang, mereka menganggap sebuah gunung sedang mengapung mendekat. Ketika kapal mendarat, orang Lucayan menyajikan makanan dan air.
"Kami mengerti bahwa mereka telah bertanya kepada kami, apakah kami datang dari surga?" tulis Columbus dalam jurnalnya.
Alih-alih kini dianggap sebagai pahlawan, Columbus mengaku dalam tulisannya bahwa "dengan 50 orang (kelompok kami), mereka semua dapat ditaklukan dan dipaksa untuk melakukan apa yang kami mau dari mereka". Dia menculik beberapa penduduk untuk berlayar menjelajahi pulau-pulau lain.
Di Hispaniola, Columbus bertemu dengan kerabat Lucayan, orang Taino. Dia membangun benteng dan meninggalkan beberapa lusin awaknya, membunuh, dan mengambil banyak sandera untuk dibawa ke Spanyol.
Kedatangannya kedua setelah menjual emas kepada raja dan ratu Spanyol, Columbus membawa 17 kapal dan 1.200 orang. Para awaknya yang ditinggal sebelumnya, terbunuh setelah mencari emas, menambil wanita dan anak-anak sebagai budak seks dan tenaga kerja.
Baca Juga: Peradaban Karibia Kuno yang Hilang Musnah Sebelum Kedatangan Eropa
Howard Zinn sejarawan Ph.D almamater Columbia University lewat buku A People’s History of the United States menyebut, Columbus karena tidak mendapatkan emas, memutuskan untuk mengisi kapal dengan barang lain yang bisa dijual di Spanyol: manusia.
Dia memerintahkan masyarkat Taino untuk tanam paksa, dengan ancaman potong tangan. Sementara banyak yang mulai mati karena kelaparan dan penyakit. Columbus juga melakukan pelecehan seksual terhadap wanita dan anak perempuan Taino. Pada 1500 dalam kabar pada remannya menulis, "ada banyak pedagang yang pergi mencari gadis; yang dari sembilang hingga 10 sekarang diminati."
Pengalaman ini membuat Hari Columbus di berbagai tempat di Amerika Serikat berubah nama. Contohnya di Barkeley, California, menggantikan hari itu sebagai Hari Masyarakat Adat sejak 1992 untuk menghormati penduduk asli pulau tempat Columbus mendarat. Pada 1989, Dakota Selatan menyebutnya sbeagai Hari Penduduk Asli Amerika, dan Alabama sebagai Hari Warisan Indian Amerika.
Baca Juga: Peta Tahun 1491 yang Memengaruhi Perjalanan Christopher Columbus
Source | : | The Washington Post,Live Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR