Bila Anda sudah usai menjelajahi berbagai macam pesona alam pantai di Desa Wisata Sawarna [simak liputan lengkapnya di sini], Anda dapat bergerak lebih jauh menuju Pantai Pulau Manuk di Kecamatan Bayah.
Gunakan jasa ojek untuk mencapainya. Atau Anda merasa energetic? Siapkan sepeda kesayangan dan mulailah mengayuh, melalui Jalan Raya Sawarna, melewati Pantai Muara Sawarna dan kawasan hutan lindung Perhutani yang memiliki vegetasi rapat.
Di tanjakan terjal sekitar setengah perjalanan, kita dapat berhenti untuk menikmati panoramic view Pantai Ciantir [termasuk Tanjung Layar serta Pantai Muara Sawarna] dari sebuah ketinggian. Buih-buih ombak berwarna putih terlihat berlomba mencapai garis pantai, meninggalkan lautan biru di belakangnya. Di sini, berdiri tiga kedai yang menjual kelapa muda seharga Rp5.000 per butir.
Pantai Pulau Manuk dikelola oleh Perhutani dan setiap pengunjung dikenai tiket seharga Rp5.000. Di sini, pengunjung dapat menjumpai monyet-monyet berbulu kelabu yang cukup jinak.
“Bila kita menaruh makanan dengan telapak tangan terbuka, mereka akan mengambilnya dengan ramah, cenderung malu-malu, bukannya mencakar,” papar Mang Cecep yang sore itu melayani retribusi tiket pantai ini.
Beberapa warga setempat terlihat tengah memancing, sementara sosok Pulau Manuk tegak berdiri di sebelah kiri. Di sebelah kanan, terletak permukiman nelayan yang pada bagian depannya dipenuhi deretan perahu usai digunakan melaut. Untuk sampai ke sana, kita dapat menggunakan ruas jalan raya dan melintasi jembatan baja.
“Hutan pantai dan pasir putih ini menjadi saksi peristiwa romusha yang berlangsung di Banten dan sekitarnya. Mereka dipekerjakan di pertambangan batubara,” kisah Muhammad Sayyidin, salah satu warga setempat. “Untuk saat-saat sekarang, pasang naik berlangsung sekitar pukul tujuh malam sampai menjelang tengah malam. Semoga pengunjung senantiasa berhati-hati bila ingin mendekat ke Pulau Manuk.”
Konon, pulau kecil itu dinamai demikian karena menjadi habitat ratusan burung serta perlintasan migrasinya. Sosok pulau karang nan mungil itu tampak magis saat ditimpa matahari sore. “Di situ juga menjadi permukiman ular laut, berwarna belang-belang perak dan hitam,” lanjut Babe Otto, sapaan akrab Muhammad Sayyidin. “Kepercayaan kami, ular-ular ini tidak boleh dibunuh dengan alasan apapun. Apalagi mereka tidak menyerang kita kalau tidak benar-benar terdesak.”
Sebuah kearifan lokal, yang sejatinya bukan hanya menjadi milik warga setempat tetapi juga wajib diterapkan oleh kita sebagai pengunjung. Bersama etika umum para pejalan seperti tidak membuang sampah sembarangan serta akrab bertegur-sapa dengan warga setempat.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR