Sejarah terjadi ketika Protokol Nagoya yang mengatur sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional tentang sumber daya itu mulai berlaku Minggu (12/10). Protokol tersebut bertujuan meningkatkan kesempatan berbagi sumber daya keanekaragaman hayati secara adil dan seimbang.
Peristiwa itu terjadi di tengah berlangsungnya Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-12 pada Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (CBD) di Pyeongchang, Korea Selatan, 6-17 Oktober 2014. Protokol diratifikasi 51 negara, dengan dua negara (Vanuatu dan Uruguay) meratifikasi kemarin. Ada tiga tujuan Protokol Nagoya.
Dua tujuan adalah konservasi keanekaragaman biologi dan penggunaan komponen kekayaan keanekaragaman biologi secara berkelanjutan.
Protokol Nagoya diadopsi pada COP-10 di Nagoya, Jepang. Protokol Nagoya tentang Pembagian Akses dan Manfaat (ABS) merupakan kerangka kerja legal mengatur akses dan penggunaan sumber daya genetik (SDG) untuk tujuan komersial, riset, atau lainnya yang harus dilakukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, pemilik SDG, dan pengguna.
Sumber daya genetik bisa berupa tumbuhan, satwa, bakteri, atau organisme lain. Seiring berlakunya protokol itu, akan ada insentif bagi pihak yang menjaga keanekaragaman genetik, hayati, dan pengetahuan tradisional.
Direktur Eksekutif Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) Achim Steiner mengatakan, "[Protokol] Ini mengingatkan bahwa Target Aichi dalam jangkauan kita." Target itu, antara lain, menurunkan angka kepunahan hayati.
"Yang paling penting, protokol ini membuka kesempatan membangun ekonomi secara lebih berkelanjutan dan nilai dari sumber daya alam akan dihargai," ujar Braulio Ferreira de Souza Dias, Sekretaris Eksekutif CBD.
Seiring pemberlakuan Protokol Nagoya itu pula, operasionalisasi rumah rujukan ABS (ABS-Clearing House/CH) juga berlaku. Indonesia kini baru memiliki RUU Pengelolaan Sumber Daya Genetik.
Pada COP-12, pengetahuan dan praktik dalam masyarakat adat dan lokal diakui sebagai kunci penting menghentikan laju kepunahan keragaman hayati. Itu juga salah satu cara membangun secara berkelanjutan. "Kerja kolektif yang dilakukan masyarakat adat dan masyarakat lokal merupakan kontribusi besar untuk mencapai tujuan konvensi keanekaragaman hayati serta target Aichi," ujar Dias.
"Merekalah penjaga keragaman hayati selama ratusan tahun. Namun, hak mereka sering kali tidak diakui," katanya, pekan lalu.
Ahish Kothari dari Indigenous People and Community Conserved Areas and Territories (ICCA) mengatakan, "Konvensi ini merupakan forum penting mengartikulasikan isu hak-hak masyarakat adat."
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR