Bencana alam telah menyebabkan lebih dari 22.000 orang tewas tahun lalu. Topan Haiyan di Filipina tercatat sebagai yang paling mematikan, ungkap pihak Palang Merah, Kamis (16/10).
Dalam laporan tahunannya tentang bencana, Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) memperingatkan soal prospek suram.
"Perubahan iklim menyebabkan mata pencaharian rusak dan meningkatkan kerentanan. Bencana alam juga menjadi lebih sering dan ekstrem," kata Kepala IFRC, Elhadj As Sy.
"Dampak yang menekan sistem sosial, fisik dan ekonomi membawa dunia ke era baru terkait risiko," tambahnya.
Topan Haiyan, yang melanda pada November 2013, menghantam Kota Tacloban dan masyarakat di sekitarnya di Provinsi Leyte di Filipina bagian timur. Setidaknya 7.986 orang tewas dalam bencana itu, kata IFRC. Bencana paling mematikan berikutnya terjadi Juni 2013, yaitu banjir di India, yang menewaskan 6.054 orang.
Menurut IFRC, total korban tewas akibat bencana alam sepanjang tahun lalu sebanyak 22.452 orang. Jumlah itu di bawah korban rata-rata pada 2004-2013 yang sebanyak 97.954 orang per tahun. Jumlah itu juga jauh di bawah angka korban bencana tertinggi selama satu dekade, yaitu tahun 2004, yang mencapai 242.829 orang tewas, sebagian besar akibat gempa dan tsunami di Samudra Hindia.
Jumlah orang yang terkena dampak bencana tahun 2013 hampir 100 juta orang, umumnya di Asia, juga menjadi yang terendah dalam satu dekade. Namun editor laporan itu, Terry Cannon, mengatakan jumlah hanya bagian dari cerita. "Bahaya dan bencana tersebar secara acak. Jadi membandingkan [bencana] dari tahun-ke-tahun dalam satu rangkaian data seperti ini sangat tidak berguna," katanya.
Namun, apa yang dapat diungkapkan lewat data adalah kemampuan suatu negara untuk mencegah bencana.
Misalnya, 36 orang tewas saat Topan Phailin melanda India pada Oktober 2013. Ribuan nyawa diselamatkan dalam bencana itu berkat program pengurangan risiko yang secara luas dipuji yang mencakup evakuasi yang direncanakan sebelumnya. Hal itu terjadi lagi minggu ini ketika Topan Hudhud melanda.
!break!
Perubahan ekonomi yang pesat, pertumbuhan penduduk dan urbanisasi di negara-negara berkembang menempatkan semakin banyak orang dalam bahaya, sementara para pakar memperingatkan, perubahan iklim yang didorong oleh emisi gas rumah kaca yang memerangkap panas menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem terjadi lebih sering.
Cannon mengatakan, selain memikirkan rencana pengurangan risiko, pemerintah dan badan-badan bantuan harus membuat lebih banyak upaya untuk memahami kehidupan orang-orang di zona bahaya.
"Sebagian besar orang tidak mati atau menderita dalam bencana itu. Mereka menderita karena persoalan kehidupan sehari-hari, apakah itu karena air yang buruk, gizi yang buruk, atau kesehatan yang buruk," katanya. "Orang-orang tidak memberikan prioritas terhadap sejumlah bahaya yang parah. Mereka mementingkan masalah sehari-hari mereka, kesehatan, malaria, pasokan air, masalah tidak cukup makanan, pekerjaan," tambahnya.
Laporan tersebut mengatakan, estimasi kerusakan ekonomi pada 2013 sebesar 119 miliar dollar, yang merupakan yang terendah keempat dalam satu dekade. Namun, total jumlah uang itu tidak menunjukkan gambaran yang lengkap.
Negara-negara maju secara secara tradisional melihat sebuah bencana yang paling mahal berdasarkan kerugian dan klaim asuransi, mengingat ekonomi mereka yang makmur dan penetrasi asuransi yang luas.
Tahun 2011, misalnya, saat Jepang terpukul gempa besar dan tsunami, kerugian bencana global diperkirakan meroket hingga 391 miliar dollar.
Situasi di negara-negara miskin tidaklah jelas, terutama jika bencana itu tidak melanda kawasan industri, dan karena pertanggungan asuransi tidak begitu meluas.
"Kerusakan yang dihargai dalam dolar bisa sangat kecil. Apa yang harus Anda ukur adalah hilangnya mata pencaharian, jutaan mata pencaharian masyarakat, perahu-perahu nelayan, jaring-jaring mereka, desa-desa mereka, rumah-rumah mereka," kata Cannon.
"Semua itu tidak dapat diukur dalam dolar (uang), semua itu tidak diasuransikan, hal-hal itu bahkan tidak dihitung dalam data statistik internasional," kata Cannon.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR