“Silakan datang ke rumah sekaligus workshop-nya di belakang masjid Pasar Lama Atambua,” ujar Onah Matutina (65). Mama Onah, demikian sapaan akrabnya, merupakan seorang wanita kreatif yang dapat memanfaatkan pelbagai peluang pemanfaatan bahan makanan dan kerajinan di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Mama Onah merintis usaha industri rumahan kreatif sejak 1980-an. Sudah banyak karya hasil tangan dinginnya yang membawa nama Atambua berkibar di kancah propinsi dan nasional. Di sanggarnya, ia memajang karya dan olahannya: tenun, kerajinan tenun, abon ikan, dan aneka kudapan dalam kemasan lainnya.
Berawal dari hobi memasak, menjahit, dan berkreasi aneka kerajinan, Mama Onah mengembangkan kegiatan yang mampu membantu masyarakat sekitar untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Mama Onah memulai usaha industri kreatifnya sejak masih muda. Awalnya ia membuat tas lurik, tas tali kus, kerajinan manik-manik, kerajinan daur ulang dari kemasan plastik bekas. Akhir-akhir ini ia mengembangkan sajadah kain tenun.
Talentanya mengolah pelbagai kerajinan membuatnya mampu bergiat kreatif, ia mengajak beberapa ibu rumah tangga di sekitarnya untuk berpartisipasi dan turut mengembangkan usaha. “Saya ingin mama-mama semua dapat memiliki keterampilan, apalagi mereka dekat dengan tradisi menenun. Sayang jika tenun hilang,” ujar Mama Onah.
Dia tengah membina anak didiknya yang saat ini sudah mencapai 18 orang. Salah satu anak didik kesayangannya adalah Berta Marsal, seorang remaja difabel, namun pandai menenun.
Tahun ini Berta berusia 24 tahun. Ketika usianya enam tahun, Berta mengalami kecelakaan karena tersambar petir yang mengakibatkan kakinya tak tumbuh sempurna.
Bertahun-tahun Berta hidup dengan berbaring dan jalan merayap. Selepas menjalani operasi pertamanya pada usia sebelas. kemudian Berta mulai menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mama Onah selalu berada di sisi Berta untuk menuntun belajar menenun dan terus memberinya semangat hidup.
Berta tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia belajar dengan tekun, membuat pola tenun, mencelup benang, memasang benang, dan duduk seharian untuk menenun.
Saya menjumpai Berta tatkala gadis itu tengah merampungkan selembar tenunan sajadah di sanggar Mama Onah. Pemesannya adalah sebuah maskapai penerbangan besar di Indonesia.
“Kami mendapat pesanan sajadah cukup banyak dari Jawa. Selembarnya dijual seratus sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Biasanya satu sajadah kami kerjakan dalam tiga sampai empat hari,”ujar Mama Onah sambil membelai punggung Berta yang sedang menenun.
Berta sesekali tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu angkatnya. “Iya, pesanan banyak, beta menenun setiap hari. Mereka dong juga menenun,”ujar Berta menunjuk rekan-rekannya yang kebanyakan adalah remaja dan ibu rumah tangga.
Dia mengusap peluh di dahinya sembari bergumam,”Tapi sulit juga menjualnya. Ini dijual dibilangnya terlalu mahal, tapi harga benang su mahal e.”
Mama Onah menjelaskan bahwa ia tak mampu menjual tenun dengan harga murah karena biaya produksi dan pengerjaannya memang cukup tinggi. “Harga benang yang bagus ya mahal,” ujarnya sambil memperlihatkan perbedaan antara benang berkualitas kurang baik dan benang super. “Mama sulit sekali menjual dengan harga murah. Ada benang murah, tapi luntur.”
Delfiana R.Beni, Camat Atambua Barat yang kebetulan sedang mengunjungi sanggar, mengatakan bahwa kegiatan Mama Onah dan bianaannya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Bantuan sudah ada, namun kendala masih banyak. Kegiatan ini bisa mendukung ekonomi keluarga dan menyebarkan kecintaan masyarakat pada tenun di Kabupaten Belu ini,” ujar Delfiana.
Kelompok dalam sanggar tenun akan sangat membantu para perempuan untuk memiliki penghasilan sendiri, ungkap Delfiana, sehingga membantu meningkatkan perekonomian keluarga.
Berta pun menyahut,”Sajadah ini bagus, beta bisa bawa uang ke rumah. Senang bisa membantu beta pung keluarga, senang juga membuat tenun.”
Sajadah dari Timor
Selembar sajadah yang membentangkan asa bagi para penenunnya.
“Silakan datang ke rumah sekaligus workshopnya di belakang masjid Pasar Lama Atambua,” ujar Onah Matutina (65). Mama Onah, demikian sapaan akrabnya, merupakan seorang wanita kreatif yang dapat memanfaatkan pelbagai peluang pemanfaatan bahan makanan dan kerajinan di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Mama Onah merintis usaha industri rumahan kreatif sejak 1980-an. Sudah banyak karya hasil tangan dinginnya yang membawa nama Atambua berkibar di kancah propinsi dan nasional. Di sanggarnya, ia memajang karya dan olahannya: tenun, kerajinan tenun, abon ikan, dan aneka kudapan dalam kemasan lainnya.
Berawal dari hobi memasak, menjahit, dan berkreasi aneka kerajinan, Mama Onah mengembangkan kegiatan yang mampu membantu masyarakat sekitar untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Mama Onah memulai usaha industri kreatifnya sejak masih muda. Awalnya ia membuat tas lurik, tas tali kus, kerajinan manik-manik, kerajinan daur ulang dari kemasan plastik bekas. Akhir-akhir ini ia mengembangkan sajadah kain tenun.
Talentanya mengolah pelbagai kerajinan membuatnya mampu bergiat kreatif, ia mengajak beberapa ibu rumah tangga di sekitarnya untuk berpartisipasi dan turut mengembangkan usaha. “Saya ingin mama-mama semua dapat memiliki keterampilan, apalagi mereka dekat dengan tradisi menenun. Sayang jika tenun hilang,” ujar Mama Onah.
Dia tengah membina anak didiknya yang saat ini sudah mencapai 18 orang. Salah satu anak didik kesayangannya adalah Berta Marsal, seorang remaja difabel, namun pandai menenun.
Tahun ini Berta berusia 23 tahun. Ketika usianya enam tahun, Berta mengalami kecelakaan karena tersambar petir yang mengakibatkan kakinya tak tumbuh sempurna.
Sajadah dari Timor
Selembar sajadah yang membentangkan asa bagi para penenunnya.
“Silakan datang ke rumah sekaligus workshopnya di belakang masjid Pasar Lama Atambua,” ujar Onah Matutina (65). Mama Onah, demikian sapaan akrabnya, merupakan seorang wanita kreatif yang dapat memanfaatkan pelbagai peluang pemanfaatan bahan makanan dan kerajinan di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Mama Onah merintis usaha industri rumahan kreatif sejak 1980-an. Sudah banyak karya hasil tangan dinginnya yang membawa nama Atambua berkibar di kancah propinsi dan nasional. Di sanggarnya, ia memajang karya dan olahannya: tenun, kerajinan tenun, abon ikan, dan aneka kudapan dalam kemasan lainnya.
Berawal dari hobi memasak, menjahit, dan berkreasi aneka kerajinan, Mama Onah mengembangkan kegiatan yang mampu membantu masyarakat sekitar untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Mama Onah memulai usaha industri kreatifnya sejak masih muda. Awalnya ia membuat tas lurik, tas tali kus, kerajinan manik-manik, kerajinan daur ulang dari kemasan plastik bekas. Akhir-akhir ini ia mengembangkan sajadah kain tenun.
Talentanya mengolah pelbagai kerajinan membuatnya mampu bergiat kreatif, ia mengajak beberapa ibu rumah tangga di sekitarnya untuk berpartisipasi dan turut mengembangkan usaha. “Saya ingin mama-mama semua dapat memiliki keterampilan, apalagi mereka dekat dengan tradisi menenun. Sayang jika tenun hilang,” ujar Mama Onah.
Dia tengah membina anak didiknya yang saat ini sudah mencapai 18 orang. Salah satu anak didik kesayangannya adalah Berta Marsal, seorang remaja difabel, namun pandai menenun.
Tahun ini Berta berusia 23 tahun. Ketika usianya enam tahun, Berta mengalami kecelakaan karena tersambar petir yang mengakibatkan kakinya tak tumbuh sempurna.
Bertahun-tahun Berta hidup dengan berbaring dan jalan merayap. Selepas menjalani operasi pertamanya, Berta mulai menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mama Onah selalu berada di sisi Berta untuk menuntun belajar menenun dan terus memberinya semangat hidup.
Berta tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia belajar dengan tekun, membuat pola tenun, mencelup benang, memasang benang, dan duduk seharian untuk menenun.
Saya menjumpai Berta tatkala gadis itu tengah merampungkan selembar tenunan sajadah di sanggar Mama Onah. Pemesannya adalah sebuah maskapai penerbangan besar di Indonesia.
“Kami mendapat pesanan sajadah cukup banyak dari Jawa. Selembarnya dijual seratus sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Biasanya satu sajadah kami kerjakan dalam tiga sampai empat hari,”ujar Mama Onah sambil membelai punggung Berta yang sedang menenun.
Berta sesekali tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu angkatnya. “Iya, pesanan banyak, beta menenun setiap hari. Mereka dong juga menenun,”ujar Berta menunjuk rekan-rekannya yang kebanyakan adalah remaja dan ibu rumah tangga.
Dia mengusap peluh di dahinya sembari bergumam,”Tapi sulit juga menjualnya. Ini dijual dibilangnya terlalu mahal, tapi harga benang su mahal e.”
Mama Onah menjelaskan bahwa ia tak mampu menjual tenun dengan harga murah karena biaya produksi dan pengerjaannya memang cukup tinggi. “Harga benang yang bagus ya mahal,” ujarnya sambil memperlihatkan perbedaan antara benang berkualitas kurang baik dan benang super. “Mama sulit sekali menjual dengan harga murah. Ada benang murah, tapi luntur.”
Delfiana R.Beni, Camat Atambua Barat yang kebetulan sedang mengunjungi sanggar, mengatakan bahwa kegiatan Mama Onah dan bianaannya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Bantuan sudah ada, namun kendala masih banyak. Kegiatan ini bisa mendukung ekonomi keluarga dan menyebarkan kecintaan masyarakat pada tenun di Kabupaten Belu ini,” ujar Delfiana.
Kelompok dalam sanggar tenun akan sangat membantu para perempuan untuk memiliki penghasilan sendiri, ungkap Delfiana, sehingga membantu meningkatkan perekonomian keluarga.
Berta pun menyahut,”Sajadah ini bagus, beta bisa bawa uang ke rumah. Senang bisa membantu beta pung keluarga, senang juga membuat tenun.”
Bertahun-tahun Berta hidup dengan berbaring dan jalan merayap. Selepas menjalani operasi pertamanya, Berta mulai menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mama Onah selalu berada di sisi Berta untuk menuntun belajar menenun dan terus memberinya semangat hidup.
Berta tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia belajar dengan tekun, membuat pola tenun, mencelup benang, memasang benang, dan duduk seharian untuk menenun.
Saya menjumpai Berta tatkala gadis itu tengah merampungkan selembar tenunan sajadah di sanggar Mama Onah. Pemesannya adalah sebuah maskapai penerbangan besar di Indonesia.
“Kami mendapat pesanan sajadah cukup banyak dari Jawa. Selembarnya dijual seratus sampai seratus lima puluh ribu rupiah. Biasanya satu sajadah kami kerjakan dalam tiga sampai empat hari,”ujar Mama Onah sambil membelai punggung Berta yang sedang menenun.
Berta sesekali tersenyum dan mengiyakan perkataan ibu angkatnya. “Iya, pesanan banyak, beta menenun setiap hari. Mereka dong juga menenun,”ujar Berta menunjuk rekan-rekannya yang kebanyakan adalah remaja dan ibu rumah tangga.
Dia mengusap peluh di dahinya sembari bergumam,”Tapi sulit juga menjualnya. Ini dijual dibilangnya terlalu mahal, tapi harga benang su mahal e.”
Mama Onah menjelaskan bahwa ia tak mampu menjual tenun dengan harga murah karena biaya produksi dan pengerjaannya memang cukup tinggi. “Harga benang yang bagus ya mahal,” ujarnya sambil memperlihatkan perbedaan antara benang berkualitas kurang baik dan benang super. “Mama sulit sekali menjual dengan harga murah. Ada benang murah, tapi luntur.”
Delfiana R.Beni, Camat Atambua Barat yang kebetulan sedang mengunjungi sanggar, mengatakan bahwa kegiatan Mama Onah dan bianaannya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. “Bantuan sudah ada, namun kendala masih banyak. Kegiatan ini bisa mendukung ekonomi keluarga dan menyebarkan kecintaan masyarakat pada tenun di Kabupaten Belu ini,” ujar Delfiana.
Kelompok dalam sanggar tenun akan sangat membantu para perempuan untuk memiliki penghasilan sendiri, ungkap Delfiana, sehingga membantu meningkatkan perekonomian keluarga.
Berta pun menyahut,”Sajadah ini bagus, beta bisa bawa uang ke rumah. Senang bisa membantu beta pung keluarga, senang juga membuat tenun.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR