Kisah romantika petualangan Muriel bermula di sebuah gedung bioskop di Hollywood Boulevard yang menyajikan film Bali, The Last Paradise pada 1932. Atas inspirasi film itulah, dia berlayar dari pelabuhan New York menuju Batavia. Entahlah, hingga kini orang tidak pernah menemukan film dengan judul serupa di Amerika—bahkan di seantero dunia.
Sesampainya di Batavia, Muriel bermobil menyusuri pesisir utara Jawa sampai ke Pulau Bali. Di pedalaman tanah para dewata, demikian kisahnya, dia disambut baik oleh Raja Bangli Anak Agung Gede dan anak lelaki semata wayangnya yang bernama Anak Agung Nura. Sang Raja mengangkatnya sebagai anak keempat, dan memberinya nama “K’tut”.
K’tut Tantri menetap di Bali sejak 1934 hingga jelang kedatangan Jepang. Nura hendak meminangnya sebagai istri, namun ditolaknya. Tantri mengisahkan bahwa akhirnya Nura dikabarkan tewas dibunuh para pemuda karena diduga antek Belanda.
“Kenyataan ini menyulitkan penuturan kisah, karena bercerita sejujur-jujurnya mengenai diri sendiri, tidaklah bisa dibilang gampang,” ungkap K’tut Tantri dalam autobiografinya yang bertajuk Revolt in Paradise.
Nura adalah nama yang paling banyak disebut dalam buku autobiografi Tantri. Nura disebut sebanyak 152 kali dalam Revolt in Paradise. (Sementara, Sukarno hanya 72 kali). Anehnya, nama itu tak pernah dikenal oleh keluarga Raja Bangli. Saya pun tergelitik bertanya kepada Hans Hägerdal, siapakah sejatinya Anak Agung Nura? Hans merupakan Guru Besar Madya dalam bidang sejarah pada School of Cultural Sciences, Linnaeus University di Växjö, Swedia.
Pada 1998, Hans bertemu Anak Agung Made Rai Rama, lelaki sepuh keturunan Raja Bangli terakhir yang tinggal dalam kompleks puri. Saat Hans bertanya tentang Nura yang berkait dengan K’tut Tantri, Rama dengan sigap menjawab bahwa Nura adalah “Anak Agung Gede Oka”.
Rama juga berkisah, Anak Agung Gede Oka telah memperkenalkan K’tut Tantri kepadanya. Tak sekadar berkenalan, Rama juga menunjukkan kepada Tantri tentang perkebunan kopi di Bangli. Rama juga memiliki kenangan tentang Tantri, misalnya ketika Tantri mengantar anak-anak Bali pergi ke sekolah dengan mobilnya.
“Bangsawan itu memiliki batu permata yang dia dapat sebagai kenang-kenangan dari K’tut Tantri,” ungkap Hans. “Dia memperlihatkannya kepada saya.”
Anak Agung Gede Oka tak lain adalah Anak Agung Nura yang dikisahkan dalam Revolt in Paradise. Tokoh itu juga tewas dibunuh orang Republik pada periode yang sama.
Hans juga berjumpa Anak Agung Gede Ngurah, saudara kandung pahlawan Kapten Anak Agung Gede Anom Muditha. Ngurah berkata kepadanya bahwa “Anak Agung Gede Oka bukanlah anak raja melainkan keponakan dari seorang raja sebelum raja terakhir, I Dewa Gede Taman yang menjabat pada 1925-1930.” Tampaknya, Tantri menyamarkan nama Raja Bangli I Dewa Gede Taman sebagai Anak Agung Gede.
Ngurah juga menegaskan bahwa Oka tewas dibunuh orang Republik karena dia disangka mendukung NICA-Belanda, mungkin sekitar 1945/1946. Fakta ini menguatkan dugaan bahwa Anak Agung Gede Oka tak lain adalah Anak Agung Nura yang dikisahkan dalam Revolt in Paradise. Tokoh itu juga tewas dibunuh orang Republik pada periode yang sama.
“Sungguh berbahaya menggunakan buku perempuan itu sebagai referensi sejarah,” ungkap Hans. “Karena buku ini tak pelak lagi mencampurkan fakta dan fiksi.”
Apakah Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa Damai sebuah kisah fiksi belaka? Dalam halaman pembuka autobiografinya, Tantri telah memberikan pernyataan, “Dengan mengetjualikan orang2 besar. Nama2 dalam buku ini dirobah. Nama2 desa di Bali dirobah. Kedjadian2 dalam segala hal berdasarkan kebenaran. Tentu sadja, peristiwa2 bersedjarah adalah uraian sesungguhnja. Buku ini sesungguhnja benar.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR