Setahun terakhir, Kabupaten Majalengka jadi pusat perhatian baru sektor pariwisata di wilayah timur Jawa Barat. Kawasan di punggung Gunung Ciremai ini memang agak tenggelam kiprahnya dibandingkan dengan tetangganya, Kuningan dan Cirebon. Namun, sebuah kompleks wisata di Kecamatan Argapura, sekitar 17 kilometer dari pusat Kabupaten Majalengka mencuri perhatian turis dan petualang.
Kawasan wisata ”Grand Canyon” atau ”Green Canyon,” demikian anak-anak muda di Majalengka menyebut tempat wisata baru di Desa Sukadana, Kecamatan Argapura, itu. Mereka mengunggah foto dan komentar di media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram untuk menggambarkan keindahan tempat ini. Semuanya bagus, kecuali risiko bencana dan kondisi infrastruktur pendukungnya.
Lokasi yang sejatinya adalah satu kawasan gua, sungai, dan air terjun bernama Curug Ibun itu belum banyak disentuh pemerintah daerah. Untuk menuju tempat itu, diperlukan waktu sekitar 1 jam dari ibu kota Kabupaten Majalengka melalui Kecamatan Maja. Jalan masuk ke Argapura itu berada sekitar 200 meter dari Pasar Maja. Tidak ada penunjuk jalan yang mengarahkan pengunjung.
Jarak dari jalan besar menuju lokasi wisata itu sekitar 7 kilometer. Di sepanjang jalan, tampak kebun warga ditanami berbagai sayuran, seperti daun bawang, cabai rawit, cabai merah, dan jagung. Argapura adalah salah satu sentra sayuran di Majalengka.
Mendekati kompleks Grand Canyon barulah ditemui papan penunjuk jalan dari kayu yang ditulis acak kadut sekadar untuk menunjukkan arah. Warga setempat menawarkan jasa memandu. ”Curug Ibun ke sini, Gua Lalay dan Curug Kemuning naik terus. Lorong Kanca ke sini,” tunjuk seorang pemandu. Ia mengarahkan pengunjung yang ingin meneruskan ke Gua Lalay dan Curug Kemuning untuk naik terus, sedangkan yang ingin ke Curug Ibun dan Lorong Kancah agar memilih jalan turun.
Keempat lokasi itu berada di aliran Sungai Cilongkrang dan merupakan satu bagian bentang alam yang terdiri atas gua dan air terjun (curug). Curug Ibun adalah bagian tengah dari
kompleks ”Grand Canyon” tersebut.
Untuk menuju Curug Ibun, pengunjung melewati jalan menurun yang berbatasan dengan kebun sayur. Tanah lempung yang gembur dan licin membuat pengunjung harus ekstra hati-hati saat menuruni jalan menuju Curug Ibun, utamanya saat musim hujan. Argapura yang cenderung berhawa lebih dingin dengan hujan lebih sering dibandingkan dengan daerah lain di Majalengka membuat tanah lempung lebih lembek sekalipun pada musim kemarau.
Untuk sampai di tanah yang lebih datar sebelum turun lagi ke arah sungai, jaraknya sekitar 15 meter dari jalan masuk awal. Sepanjang 15 meter itu, pengunjung turun melintasi undak-undakan tanah yang dibatasi dengan bambu. Sebagian segmen kecuramannya nyaris 90 derajat. Persis sama ketika Anda menuruni tangga yang tegak lurus. Di kanan-kiri undak-undakan tersebut terdapat bambu sebagai pengaman dan pegangan tangan.
Pada bagian tanah yang datar, terdapat warung-warung makanan yang dikelola warga. Para pemandu banyak berkumpul di tempat itu. Hawa dingin mulai merasuk dan suara jeram di bawah yang menimbulkan uap air itu terdengar hingga ke atas.
”Yang khas di sini ialah dinding batunya. Itu seperti Grand Canyon di Amerika,” ujar Ugun Gunawan (45), pemandu yang juga anggota Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Desa Sukadana.
Dinding setinggi 20 meter itu membentuk lembah dengan sungai di dasarnya. Pada lapisan dinding terlihat guratan menyerupai alur air. Dinding batu itu mirip dinding lava di patahan Lembang, Bandung. Bedanya, dinding batu di Sukadana selalu basah. Dari celah-celah dinding batu itu muncul rembesan air. Salah satunya sangat deras hingga membentuk curug. Warga sekitar menamainya Curug Ibun Pelangi. Nama itu diberikan karena ketika matahari bersinar dan menerobos embun yang timbul dari jeram muncullah pelangi.
Dinding lava
Untuk sampai di dasar lembah dan menyentuh sungai, pengunjung harus kembali turun melintasi turunan yang curam dengan undakan dari bambu. Kali ini benar-benar hanya tangga dari bambu yang melekat pada tanah lempung. Jarak antara tanah datar tempat pengunjung dan pemandu beristirahat di warung dengan dasar sungai sekitar 6 meter.
Ketika kaki sampai di bawah dan menyentuh air sungai, barulah tersadar bahwa ratusan orang yang hari itu berada di Curug Ibun sejatinya sedang berada di dasar lembah dengan dinding batu di kanan-kiri. Hawa dingin kian menyergap dan yang keluar uap dari mulut.
Arus sungai sangat deras dan bebatuan besar menyebar di dasar sungai. Wisatawan pun memanfaatkan momen itu untuk berfoto, duduk di batu, atau mengambil latar belakang air terjun. Sebagian di antaranya pilih berenang. Pemandu berkali-kali mengingatkan pengunjung agar tidak langsung berada di bawah Curug Ibun karena airnya yang deras.
Sungai Cilogkrang benar-benar seperti lorong dengan air menggerojok dari atas dan dinding batu yang mengapit di kedua sisi. Pengunjung dibuat penasaran melihat pemandangan dinding batu dengan sungainya yang berair es.
Mengenai dinding batu di Curug Ibun, dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Brahmantyo menduga itu adalah jenis batuan beku atau andesit. Batuan itu terbentuk dari aliran lava yang merayap di lereng Ciremai. Lava itu tergerus dan tererosi aliran sungai di bawahnya sehingga dalam proses jutaan tahun lava itu membeku menjadi batuan. Batuan itu diperkirakan terbentuk dalam rentang waktu 2 juta tahun lalu.
”Jika dilihat dari morfologi bebatuan dan karakternya, sungai itu kemungkinan adalah sungai tahap muda. Oleh karena itu, erosi yang terjadi ialah erosi vertikal. Erosi vertikal itu memicu timbulnya celah-celah air dan banyaknya jeram atau air terjun di batuan andesit,” kata Budi, Jumat (5/6).
Bentang alam semacam itu memang sangat digemari untuk kawasan wisata, utamanya wisata khusus seperti arung jeram. Namun, Budi mengingatkan bahwa ada potensi bahaya. ”Pengelola mesti mempertimbangkan keahlian wisatawan dalam berarung jeram. Sebab, arus sungai yang deras amat membahayakan. Kawasan itu sebaiknya untuk wisata minat khusus,” ujarnya.
Setiap 200-500 pengunjung ke lokasi itu. Saat libur, pengunjung ribuan orang. Bagi warga Argapura, sepertinya, Curug Ibun dan lokasi lainnya di kompleks Grand Canyon adalah berkah.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR