Seseorang yang gemar melukis pastilah handal dalam berimajinasi, membayangkan bentuk dan warna lalu menuangkannya ke atas kanvas. Seseorang yang gemar membaca kisah fiksi dari novel atau majalah pasti mampu “menampilkan” adegan demi adegan yang dibaca dalam kepala mereka, sesuai dengan deskripsi yang disajikan sang penulis.
Berimajinasi bagi sebagian besar orang merupakan sesuatu menyenangkan. Namun sayangnya, beberapa orang tidak terlahir dengan kemampuan itu.
Kelainan yang dimiliki sebagian kecil orang di dunia itu pertama kali diteliti oleh seorang ahli saraf kognitif di University of Exeter, Inggris, Profesor Adam Zeiman. Sebelumnya, konsep manusia yang tak memiliki kemampuan untuk melakukan visualisasi itu ditemukan di tahun 1880 oleh Sir Francis Galton. Menurutnya, kondisi tersebut bisa dialami oleh 2,5% dari total populasi manusia.
Visualisasi dihasilkan dari aktivitas otak di bagian lobus frontal dan lobus parietal, bersama dengan wilayah di otak bagian lobus temporal dan lobus oksipital. Di bagian-bagian otak itulah proses visual terjadi, sehingga seseorang bisa membayangkan bentuk, rupa, dan “rasa” sebagai efek dari visualisasi tersebut. Bagi sebagian kecil orang, pada bagian-bagian tertentu di area otak tersebut terjadi gangguan sehingga mereka menderita apa yang disebut Sir Francis Galton sebagai aphantasia.
Seorang pria berusia 25 tahun dari Ontario, Kanada, bernama Tom Ebeyer, pernah melaporkan kondisinya yang diduga adalah gejala aphantasia kepada Profesor Zeman. Dari penjelasannya, ia tidak mampu mengingat sesuatu, baik peristiwa tertentu yang ia alami atau tulisan yang baru saja ia baca. Ia lambat dalam membaca dan mengalami kesusahan saat uji memori. Bahkan, Tom mengaku bahwa ia tidak dapat mengingat wajah kekasihnya saat mereka sedang tidak bersama.
Dalam kasus aphantasia yang dialami Tom, seluruh indera yang ada pada dirinya terganggu, membuatnya tak mampu membayangkan suara, tekstur, rasa, bau, emosi, semua hal yang memerlukan kegiatan visualisasi. Ketidakmamampuannya itu membuat Tom terisolasi.
Profesor Zeman kini tengah melakukan studi lebih jauh untuk menyelidiki kelainan langka ini. Menurutnya, kasus aphantasia yang berbeda-beda pada setiap penderita membutuhkan penanganan yang juga berbeda, dan sudah semestinya kelainan itu diteliti untuk mendapatkan teknik penyembuhan yang tepat bagi para penderitanya.
Studi terkait aphantasia yang Profesor Zeman tekuni dilakukan melalui projek interdisipliner yang didanai oleh Arts and Humanities Research Council (AHRC), bernama The Eyes’ Mind.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR