Mengembalikan yang hilang memang tidak mudah. Agapakis dan timnya pertama-tama harus menemukan cukup banyak sisa-sisa yang tertinggal dari tanaman itu. Para ilmuwan menyadap seekor nyamuk yang diawetkan dalam damar. Nyamuk ini mungkin memiliki sisa-sisa tanaman yang akan diteliti.
Namun cara ini tidak membuahkan hasil. Mereka kemudian meneliti koleksi Herbaria & Perpustakaan Universitas Harvard. Dalam koleksi spesimen tanaman kering Harvard yang disimpan di antara halaman-halaman buku besar, 20 tanaman yang telah punah dicatat.
Herbarium memungkinkan Agapakis untuk mengambil sampel dari 14; tiga dipilih untuk “dihidupkan” kembali. Hibiscadelphus wilderianus adalah salah satunya.
Yang kedua, Orbexilum stipulatum, terakhir terlihat di pulau sungai Kentucky, dianggap punah pada tahun 1881. Yang ketiga diberi label sebagai Leucadendron grandiflorum, asli Afrika Selatan dan terakhir terlihat pada tahun 1806. Sampel seukuran kuku jari kelingking diambil dari masing-masing dari tiga tanaman. Kemudian dikirim ke laboratorium paleogenomik Santa Cruz, di mana ahli genetika mengurutkan DNA tanaman.
Baca Juga: Bunga Melepaskan Parfumnya Sebagai Respons Listrik dari Sentuhan Lebah
Ketika suatu organisme mati, sinar matahari, air, dan mikroba segera mendegradasi DNA di dalam selnya. Jadi untuk merekonstruksinya, ilmuwan ini harus mengumpulkan fragmen DNA yang tersisa. Ahli biologi molekuler Beth Shapiro menyamakan prosesnya dengan pengumpulan "satu triliun keping teka-teki".
Penulis How to Clone a Mammoth, Shapiro adalah pelopor dalam menganalisis dan merekonstruksi DNA purba. Ia menggunakan database digital yang luas dari DNA yang diketahui untuk mengidentifikasi fragmen genetik dari sampel tanaman yang punah. Kemudian menyatukan gen enzim tanaman yang bertanggung jawab untuk membuat molekul aroma.
Dengan bantuan perusahaan biologi sintetis Twist Bioscience, rekonstruksi digital dicetak sebagai urutan DNA sintetis. Urutan pengodean enzim penghasil bau ini dimasukkan ke dalam ragi, yang tumbuh dan menghasilkan molekul aroma. Ragi digunakan untuk menciptakan segala sesuatu mulai dari obat hingga penyedap makanan, kata Agapakis.
Ginkgo kemudian mengirimkan daftar molekul ke laboratorium Tolaas di Berlin. Di sana, bagian artistik dari proyek seni dan sains ini dimulai.
Baca Juga: Ani Liu, Seniman yang Mampu Simpan Aroma Tubuh Seseorang Dalam Botol
Tolaas merekonstruksi bau dari molekul seperti seorang penulis menggunakan huruf untuk menyusun kata. Ia mereferensikan perpustakaan aromanya, koleksi yang dibuat selama 25 tahun yang mencakup 10.000 molekul dan komposisi. Koleksinya ini tersimpan rapi di dalam toples kecil dan basis data.
Merujuk pada molekul yang dikirim dari Ginkgo, ditemukan aroma apa yang mungkin dihasilkan oleh spesies itu. Ini dilakukan dengan mencocokkan struktur molekulnya dengan struktur aroma di perpustakaannya dan di koleksi lainnya.
Selama delapan bulan, dia mengotak-atik formula untuk menciptakan interpretasi uniknya tentang aroma tanaman itu. “Saya tidak menambahkan apa pun yang tidak ada di sana,” kata Tolaas. "Saya bermain dengan fakta."
Tolaas mengirim 10 variasi berbeda dari aroma tanaman Hawaii dan enam variasi untuk tanaman Kentucky dan Afrika Selatan. Setiap versi memiliki susunan molekul aroma yang sedikit berbeda, menghasilkan berbagai aroma yang mungkin mereka pancarkan.
Ketika Agapakis mencium aroma yang sudah punah untuk pertama kalinya, dia tergerak. “Kami mencium sesuatu yang hilang selamanya, momen yang emosional, ”katanya.
Anda tidak ingin memikirkan tentang kepunahan dan betapa suramnya itu. Bayangkan keragaman yang kita hilangkan setiap hari. Bayangkan semua keajaiban yang ada di sana.
Biologi sintetis yang digunakan untuk menghidupkan kembali aroma yang telah punah adalah inovasi berikutnya, kata Agapakis. Agapakis meramalkan pengintegrasian biologi sintetis ke dalam kehidupan sehari-hari. Sama seperti elektronik dan internet nirkabel sekarang menjadi alat sehari-hari.
Ia bertanya-tanya, "Bagaimana jika di masa depan kita bisa memiliki segalanya yang 'hidup'?"
Baca Juga: Petrichor, Aroma Alami Saat Hujan, Dari Mana Asalnya?
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR