Kehadiran ilmu bioteknologi selama ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh sektor pertanian di Indonesia. Padahal, teknologi pangan tersebut bersifat positif dan bisa membawa kemajuan bagi dunia pertanian Indonesia. Tidak hanya itu, bioteknologi juga bisa melepaskan ketergantungan Indonesia dari impor bahan pangan.
Demikian kesimpulan dari Seminar Nasional Bioteknologi yang digelar Fakultas Biologi Universitas Nasional, Kamis (14/1/2016). Hadir dalam seminar tersebut sejumlah pakar di bidang teknologi pangan.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik , Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan Indonesia melihat bioteknologi tidak hanya sebagai salah satu instrumen strategis untuk masa depan keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan namun juga solusi tepat untuk Negleted Tropical Diseases (NTD) atau penyakit endemic antara lain seperti deman berdarah dan kaki gajah.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama global yang intensif untuk mengoptimalkan produk rekayasa genetik (GMO/genetically modified organism), saling percaya dengan pemangku kepentingan termasuk petani dan kelompok tani tentang produk GMO.
Agus mengatakan ada dua produk GMO yang telah mendapatkan sertifikat feed safety, 12 produk yang telah mendapatkan sertifikat food safety dan 6 produk yang telah mendapatkan sertifikat environmental safety.
Ketua Komisi Keamanan Hayati itu mengatakan mereka bertugas sesuai dengan Peraturan Presiden No.53/2014 tentang tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang mengatur tentang sertifikasi dan keamanan produk GMO di Indonesia.!break!
Sedangkan Kepala Pusat Kajian Bioteknologi Universitas Nasional Retno Widowati menjelaskan, saat ini AS masih menjadi negara yang menanam tanaman bioteknologi terluas di dunia seluas 73,1 juta hektare atau 40 persen dari total luas tanaman bioteknologi dunia. AS mengadopsi tanaman bioteknologi terbanyak pada jagung (93%), kedelai (94%) dan kapas (96%).
Sedangkan negara berkembang seperti Brazil, lanjutnya bahkan mencetak rekor baru di tahun 2014 dengan peningkatan luasan tanaman biotek sekitar 1,9 juta hektar dari tahun 2013, menduduki peringkat kedua selama enam tahun berturut-turut di bawah AS.
Sementara negara miskin Bangladesh, telah menyetujui komersialisasi Terong Bt Brinjal pada 30 Oktober 2013 dan berselang kurang dari 100 hari setelah persetujuan, para petani kecil menanam Terong Bt pada 22 Januari 2014. Sedangkan India mencatat 11,6 juta hektar lahan tanaman bioteknologi dan memiliki laju adopsi 95% untuk kapas bioteknologi.
‘’Di Indonesia sendiri, beberapa institusi penelitian telah mengembangkan tanaman bioteknologi. Namun upaya penamaman tanaman bioteknologi secara komersial saat ini sedang menjalani pengkajian keamanan hayati yang dilakukan oleh Komisi Keamanan Hayati beserta tim teknisnya. Pemerintah memang sangat berhati-hati untuk masalah ini, karena sekali sudah dilepas, maka tidak dapat ditarik kembali. Namun, status ini penting untuk para peneliti, karena pasti peneliti akan lebih bergairah jika ada kejelasan tentang masa depan bioteknologi di Indonesia,’’ ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama Herry Kristanto, Corporate Engagement LeadMonsanto Indonesia menyebutkan bagaimana potensi besar Indonesia untuk mengembangkan bioteknologi dalam sektor pertanian dan perkebunan. Dengan segala potensi yang ada, dia tanpa ragu Indonesia akan bisa menjaga stabilitas ketahanan pangan jika bioteknologi diadopsi secara masal dan masif.
“Bukan saja kita bisa mewujudkan ketahanan pangan, kita juga bisa mencapai surplus dalam produksi. Karenanya, kita akan bisa mengekspor produk pangan ke negara lain. Tapi, itu bisa terwujud jika bioteknologi mulai diterapkan secara masal,” ungkap Herry.
Salah satu produk yang bisa dikembangkan, kata Herry, adalah jagung. Komoditas pangan tersebut, selama ini masih menggunakan bibit jenis konvensional yang bisa menghasilkan rerata 4,5 juta ton per tahun. Jumlah tersebut cukup banyak, tapi tidak bisa menyaingi produksi Amerika Serikat ataupun Brasil.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR