Dalam naungan hujan gerimis, Putra Mahkota Aji Mohammad Arifin menepuk-nepuk kepala naga dan ekor naga dengan daun jenjuang yang telah dicelupkan pada air suci. Dia melakukan pemberkatan kepada dua naga yang telah disemayamkan selama tujuh hari di Kasultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Hari ini puncak ritual Erau. Seluruh kerabat kasultanan dan warga merayakannya dengan adat mengulur naga dan dilanjutkan dengan tradisi belimbur—tradisi saling mengguyur air pertanda akhir pesta adat Erau.
Dua Naga Erau yang masing-masing digotong oleh 20 orang berbaju cina dan berikat kepala batik bergerak dari keraton menuju dermaga yang berlantai kayu. Kemudian naga disandarkan di kedua lambung bahtera. Di barisan depan tampak Putra mahkota bersama para Belian dan Dewa.
Sosok Naga Erau dan baju Cina—mirip baju koko tanpa kerah—tampaknya tidak bisa dilepaskan dalam tradisi Kutai Kartanegara. Saya melihat adanya unsur budaya Cina dalam tradisi budaya setempat. Bahkan di dalam keraton, kini Museum Mulawarman, terdapat patung warna merah yang kerap disebut warga sebagai “singa noleh”.
Saya memang awam dalam hal budaya peranakan di Nusantara, namun sekilas patung itu menyerupai sosok qilin, satwa mitologi budaya Cina yang kerap ditemukan di klenteng atau pecinan. Tampaknya budaya Cina telah membaur dengan adat setempat, sehingga saya tidak menemukan satu klenteng pun di Tenggarong.
Namun, saat melihatnya di jalanan, saya justru menahan tawa lantaran penampakannya lebih mirip penari pembuka dalam video harlem shake ketimbang fotografer profesional. Conloterrorista!
Bagi warga Kutai, kemunculan naga dipercaya berkait dengan legenda kejadian ratusan lalu di perairan Jaitan Layar, hilir Sungai Mahakam di Kutai Lama. Seekor naga telah menjelma menjadi bayi perempuan cantik yang muncul bersama Lembuswana dari dasar sungai. Bayi itu kelak ketika dewasa, menurunkan dinasti raja-raja Kasultanan Kutai Kartanegara.
Semua yang ikut dalam acara ini sudah mempersiapkan segala risiko karena basah dengan membungkus kamera dan telepon selular dengan plastik. Sementara fotografer Yunaidi bersiap dengan tas plastik kuning lebar yang cukup mengerudungi bagian atas tubuhnya. Dia membuat sebuah lubang untuk memberi jendela bagi lensa kameranya. “Cukup aman!” serunya.
Namun, saat melihatnya di jalanan, saya justru menahan tawa lantaran penampakannya lebih mirip penari pembuka dalam video harlem shake ketimbang fotografer profesional. Conloterrorista!
Pelayaran dari Tenggarong menuju Jaitan Layar di Kutai Lama akan menempuh sekitar tiga jam. Seperti dalam rangkaian upacara adat lainnya, Awang Imaluddin selalu menjadi orang tersibuk. Saya berdiri di halauan bahtera yang berlantai kayu bercat oranye bersama Awang, empat orang Dewa, empat orang Belian, dan seorang dukun yang berbusana serba hitam.
Pagi itu angin di halauan cukup dingin dan kencang. “Dewanya belum masuk angin, tetapi Belian bisa masuk angin,” ujar Awang sambil berkelakar. “Silakan masuk ke kapal!” Semua tertawa. Para Belian yang sudah tak lagi muda dan bertelanjang dada itu pun undur diri dari halauan. Belian memang syaman, namun mereka manusia juga.
SAYA DUDUK DI HALUAN DEPAN sambil selonjoran menikmati hangatnya pancaran bara tungku sesajen yang membakar wijen. Sepanjang pelayaran menuju Kutai Lama, saya menyaksikan warga Tenggarong sudah mulai belimbur.
Mereka berdiri di rumah panggung dan sepanjang turap Mahakam sembari bersorak-sorai melambaikan tangan kepada Naga Erau di bahtera kami. Sementara warga lain diam-diam dari samping menyemburkan ember berisi air ke arah mereka yang bersorak. Semua basah kuyup. Ini perhelatan konyol! Andai saya masih di Tenggarong, tentu saya sudah basah. Saya tahu pelayaran ini sekadar menundanya saja.
Tiga jam pun berlalu dan kami kian mendekati kawasan perairan Kutai Lama. Di sanalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, pendiri Kerajaan Kutai, memulai roda pemerintahannya.
“Lihat, Gunung Jaitan Layar sudah terlihat!” seru Awang Imaluddin sambil menunjuk bukit menghijau di tepian hilir Mahakam. “Zaman bahari, banyak pelaut-pelaut Bugis yang memperbaiki layar kapal mereka yang koyak,” ujarnya. “Makanya dikenal dengan Jaitan Layar.”
Selama beberapa saat saya teringat sejarah bajak laut Samuel Bellamy yang sohor dengan sebutan “Si Hitam Sam” Belamy ketika membajak kapal Whydah di sisi timur Kuba pada 1717.
Saya kerap memperhatikan busana adat yang dikenakan para kerabat keraton. Hari ini Awang berpeci kancing dan berbusana adat warna hijau pucat. Di dada kirinya tersemat emblem kasultanan. “Ini ketopong,” ujarnya sambil menunjuk emblem yang dimaksud. “Di bawahnya ada huruh S-V-K.” Dia berhenti sejenak, lalu berkata, “Sultan Van Kutai.”
Kami berdiri di haluan kapal yang membelah Mahakam seraya memandangi perbukitan di hadapan bersama para Dewa dan Belian. Saya melihat sekeliling dan mendapati bahwa sekitar empat lusin perahu yang tadinya di tepian sungai kini mulai bergerak serentak mengurung perahu kami. Kami dalam kepungan!
Tabuhan mabon kian menggema dari dalam bahtera untuk mengiringi ritual tepong tawar, menyapa lelembut di Jaitan Layar. Alunan itu mengundang suasana mistis sehingga membuat saya semakin hanyut dalam aroma mencekam.
Selama beberapa saat saya teringat sejarah bajak laut Samuel Bellamy yang sohor dengan sebutan “Si Hitam Sam” Belamy ketika membajak kapal Whydah di sisi timur Kuba pada 1717. Whydah cukup melegenda, sehingga National Geographic Society bersedia membiayai sebagian proyek pencarian harta karunnya. Lalu, terbayang juga kisah klasik soal penyerangan bajak laut yang pernah saya baca di novel terbitan akhir abad ke-19 berjudul Treasure Island karya Robert Louis Stevenson. Novel ini telah menginpirasi film-film bajak laut abad ke-20 hingga Pirates of Caribean yang melambungkan nama pesohor Johnny Depp.
Situasi kami saat ini kacau. Kapal-kapal Negeri Jaitan Layar itu berlomba-lomba menghimpit bahtera kami. Mereka memperebutkan harta itu—sisik sang naga. Ibarat kapal dagang Spanyol yang sarat dengan kepingan logam emas—namun kurang mesiu—sedang berlayar melintasi Kepulauan Karibia yang terkenal dengan bajak lautnya.
Tampaknya kedua tugboat itu beradu dengan saling menyemprotkan meriam air. Awak kapal saling meledek dan melemparkan “granat-granat” kantong plastik berisi air.
Dua kapal tugboat ukuran besar “TB Putra Rupat” warna oranye dan “Ocean Mike” warna putih-hitam memutar halauan untuk mendekat menuju arah lambung kapal kami. Sejak zaman bajak laut kelas kakap di Karibia sampai perompak kelas teri di Selat Malaka bagian lambung memang terlemah dan mudah diserang. Tampaknya kedua tugboat itu beradu dengan saling menyemprotkan meriam air. Awak kapal saling meledek dan melemparkan “granat-granat” kantong plastik berisi air. Akhirnya, “TB Putra Rupat” mengalah dengan memutar haluannya dan meninggalkan “Ocean Mike”. Sementara kami tetap melaju perlahan menuju dermaga.
Saya juga menyaksikan bahwa pertempuran sungai tak hanya terjadi antarkapal, melainkan juga di dalam kapal “TB Putra Rupat” sendiri. Para kru dalam kapal itu justru saling menyemprotkan selang kea rah kru lainnya. Dari halaun bahtera tempat saya berdiri, saya bisa menyaksikan betapa seseorang yang tersembur selang, namun tetap meringis bahagia.
Tak hanya kapal-kapal berukuran besar yang saling bertempur, perahu-perahu nelayan bermotor tempel dan bertenaga dayung pun pun saling melempar “granat-granat” kantong air. Ketika dua perahu saling sengit menyemprotkan air dari selang, tiba-tiba ada kapal motor melaju kencang dan melempar “granat-granat” tadi ke arah mereka.
Saya melihat di luar sana nyaris tak ada awak kapal yang tak basah kuyup. Tinggal kami yang masih kering. Saya pasrah apabila pada masanya harus menerima semburan meriam air dari kapal-kapal itu. Seluruh awak kapal bermuka tegang—termasuk saya. Para Dewa yang sepanjang pelayaran ini kerap menebar senyum seraya melambaikan tangan, kali ini terhanyut suasana mencekam.
Awang Imaluddin memberi komando kepada nakoda bahtera kami supaya memutari kawasan perairan Jaitan Layar sebanyak tiga kali. Kesulitannya, perairan itu dipenuhi tebaran kapal-kapal yang menghalangi manuver bahtera kami. Awang berikut para Dewa dan Belian siap melakukan ritual mengambil air suci di kawasan sakral bagi warga Kutai.
Kapal mulai mendekati dermaga yang sudah penuh-sesak warga. Mereka tampaknya sudah melakukan belimbur bersama, berbasah-basahan, sebelum kedatangan kami. Saya melihat sekeliling sembari tetap waspada kalau tiba-tiba kapal mereka menyemprotkan meriam airnya ke arah saya. Kapal-kapal mulai tenang—namun tetap bersiaga—menyaksikan ritual di bahtera kami.
Awak bahtera kami yang berbaju cina segera menuju ke lambung kapal tempat bersandar sang naga. Awang mulai melakukan ritual pelepasan sang naga.
Saya pasrah apabila pada masanya harus menerima semburan meriam air dari kapal-kapal itu. Seluruh awak kapal bermuka tegang—termasuk saya. Para Dewa yang sepanjang pelayaran ini kerap menebar senyum seraya melambaikan tangan, kali ini terhanyut suasana mencekam.
Saya terkejut tatkala kepala naga sudah berhasil dilepaskan. Terjadi pergolakan dan perebutan kain yang membelit sang naga di dalam bahtera yang tadinya tenang dan bersahabat. Awang pun turut menarik kain sang naga, sementara dari arah yang berlawanan para penumpang, juga Dewa dan Belian juga turut berjibaku demi secuil kain itu.
Hiruk-pikuk saat berebut itu ibarat pemberontakan yang kerap terjadi dalam kapal pengangkut budak sekelas Whydah sebelum dibajak Samuel Bellamy. Saya pun hanya menyaksikan huru-hara yang tampaknya membahagiakan semuanya.
Usai “pemberontakan” dalam bahtera kami, kapal-kapal yang tadinya diam kini bergerak dalam senyap. Seisi kapal pasrah tatkala mereka mendekati dua naga yang berada di kedua sisi lambung bahtera kami. Lalu, warga dari kapal di seberang kami berceburan diri ke sungai dan berlomba-lomba meraih sisik sang naga. Mereka seperti monster-mosnter sungai yang mencabik-cabik dengan buas bahtera kami. “Sisik naga dipercaya mendatangkan berkah bagi warga dan nelayan,” Awang berkata kepada saya. “Warna-warni sisik itu melambangkan keberagaman Kutai.”
Perebutan di tengah Sungai Mahakam telah berakhir, hingga tak menyisakan secuil pun tubuh sang naga. Warga yang mendapatkan sisik atau kulit sang naga berkeliling dan melambai-lambaikan kain itu dengan kapal motor tempel mereka. Perasaan puas dan bangga terpancar dari roman muka mereka.
Akhirnya saya basah! Ketika saya mengendap-endap di jalanan kampung Jaitan Layar, seorang anak tiba-tiba mengambil air dari ember dengan gayungnya, lalu menyiramkan arah punggung saya.
“Perjalanan dari Tenggarong ke Jaitan Layar yang diajarkan leluhur kami tentu ada maknanya. Leluhur mengajarkan supaya kami tidak melupakan dari mana kami berasal. Itu yang terpenting!”
Setelah mengunjungi makam leluhur Kasultanan Kutai, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan bahtera yang sama. Awang menunjukkan kepada saya air keruh yang berada dalam botol kemasan air minum. Dia mengambilnya di perairan suci Jaitan Layar tadi. “Air dari sini dipercaya untuk menyembuhkan sakit.”
“Perjalanan dari Tenggarong ke Jaitan Layar yang diajarkan leluhur kami tentu ada maknanya,” ungkap Awang sembari duduk bersila dan menyandarkan badannya pada dinding bahtera. “Leluhur mengajarkan supaya kami tidak melupakan dari mana kami berasal. Itu yang terpenting!”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR