Awak bahtera kami yang berbaju cina segera menuju ke lambung kapal tempat bersandar sang naga. Awang mulai melakukan ritual pelepasan sang naga.
Saya pasrah apabila pada masanya harus menerima semburan meriam air dari kapal-kapal itu. Seluruh awak kapal bermuka tegang—termasuk saya. Para Dewa yang sepanjang pelayaran ini kerap menebar senyum seraya melambaikan tangan, kali ini terhanyut suasana mencekam.
Saya terkejut tatkala kepala naga sudah berhasil dilepaskan. Terjadi pergolakan dan perebutan kain yang membelit sang naga di dalam bahtera yang tadinya tenang dan bersahabat. Awang pun turut menarik kain sang naga, sementara dari arah yang berlawanan para penumpang, juga Dewa dan Belian juga turut berjibaku demi secuil kain itu.
Hiruk-pikuk saat berebut itu ibarat pemberontakan yang kerap terjadi dalam kapal pengangkut budak sekelas Whydah sebelum dibajak Samuel Bellamy. Saya pun hanya menyaksikan huru-hara yang tampaknya membahagiakan semuanya.
Usai “pemberontakan” dalam bahtera kami, kapal-kapal yang tadinya diam kini bergerak dalam senyap. Seisi kapal pasrah tatkala mereka mendekati dua naga yang berada di kedua sisi lambung bahtera kami. Lalu, warga dari kapal di seberang kami berceburan diri ke sungai dan berlomba-lomba meraih sisik sang naga. Mereka seperti monster-mosnter sungai yang mencabik-cabik dengan buas bahtera kami. “Sisik naga dipercaya mendatangkan berkah bagi warga dan nelayan,” Awang berkata kepada saya. “Warna-warni sisik itu melambangkan keberagaman Kutai.”
Perebutan di tengah Sungai Mahakam telah berakhir, hingga tak menyisakan secuil pun tubuh sang naga. Warga yang mendapatkan sisik atau kulit sang naga berkeliling dan melambai-lambaikan kain itu dengan kapal motor tempel mereka. Perasaan puas dan bangga terpancar dari roman muka mereka.
Akhirnya saya basah! Ketika saya mengendap-endap di jalanan kampung Jaitan Layar, seorang anak tiba-tiba mengambil air dari ember dengan gayungnya, lalu menyiramkan arah punggung saya.
“Perjalanan dari Tenggarong ke Jaitan Layar yang diajarkan leluhur kami tentu ada maknanya. Leluhur mengajarkan supaya kami tidak melupakan dari mana kami berasal. Itu yang terpenting!”
Setelah mengunjungi makam leluhur Kasultanan Kutai, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan bahtera yang sama. Awang menunjukkan kepada saya air keruh yang berada dalam botol kemasan air minum. Dia mengambilnya di perairan suci Jaitan Layar tadi. “Air dari sini dipercaya untuk menyembuhkan sakit.”
“Perjalanan dari Tenggarong ke Jaitan Layar yang diajarkan leluhur kami tentu ada maknanya,” ungkap Awang sembari duduk bersila dan menyandarkan badannya pada dinding bahtera. “Leluhur mengajarkan supaya kami tidak melupakan dari mana kami berasal. Itu yang terpenting!”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR