Siamang (Symphalangus syndactylus) menunjukkan perilaku paling unik di antara satwa teramati di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, seiring gerhana matahari sebagian, Rabu (9/3). Saat satwa lain tenang, puluhan primate koleksi Ragunan itu justru aktif: menjerit dan terus bergerak di kandang.
Kondisi itu terpantau sekitar 30 menit saat cahaya Matahari meredup pukul 07:30-08.00 WIB. Gerhana matahari sebagian membuat kondisi Kebun Binatang Ragunan redup, bernuansa kekuningan.
Siamang-siamang itu diduga saling memperingatkan satu sama lain merespons kondisi yang tak biasa itu. “Pada saat-saat seperti ini, biasanya siamang-siamang itu mulai beraktivitas dengan tenang.” Kata Koordinator Humas Kebun Binatang Ragunan, Wahyudi Bambang Priantoro, Rabu.
Beda lagi dengan satwa lain yang diamati, yakni lutung dan owa yang justru kembali ke gombok (rumah-rumahan kayu) dan kembali tidur setelah sempat beraktivitas saat matahari terbit belum lama sebelumnya. Hal serupa terjadi pada singa dan macan tutul yang kembali masuk ke kandangnya untuk tidur. Adapun sejumlah jenis burung seperti pelican, elang dan kasuari, berhenti beraktivitas selama gerhana matahari.
Perilaku sejumlah satwa yang unik selama gerhana matahari itu, kata Wahyudi, yang pertama dicatat dan didokumentasikan di Kebun Binatang Ragunan. Pengamatan melibatkan tim dokter hewan, mahasiswa dan pawing satwa. “Gerhana 1983 dulu juga sempat diamati, tetapi tidak didokumentasikan,” katanya.
Pengamatan khusus juga dilakukan terhadap hewan air, seperti lumba-lumba di Ocean Dream, Ancol, Jakarta. Perilaku khusus satwa cerdas itu menarik diamati.
Empat lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncates) di tempat rekreasi it uterus bergerak aktif sejak pukul 05.40. Sesekali melompat, menyemburkan air lewat lubang pernafasan, atau sekedar membunyukan suara gemeletuk.
Akan tetapi, sejak memasuki fenomena gerhana, pukul 06.19 WIB, gerakan mamalia itu cenderung melambat. Dua lumba-lumba terdiam di dasar kolam. Saat gerhana mulai memasuki waktu puncak, pukul 07.21 WIB, saat suasana cenderung gelap, lumba-lumba kian tenang.
“Lumba-lumba menyadari ada yang berubah dengan lingkungan sekitar. Mereka menyadari hari baru masuk pagi, tetapi tiba-tiba cuaca gelap. Gaya gravitasi mungkin juga berpengaruh,” kata peneliti Biodiversitas dan Konservasi Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hagi Yulia Sugeha.
Sejauh pengamatannya, lumba-lumba itu lebih banyak beristirahat dan berdiam diri di dasar kolam. Mereka sesekali muncul ke permukaan atau berenang pelan. “Ini sekaligus seperti metode mempertahankan diri karena ada sesuatu yang terjadi di luar sana,” ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Yulia, pengamatan hewan di dalam ruang tertutup tidak akan maksimal sebab hewan tidak berada di habitat asli dengan kondisi alam yang natural. Alam tertutup, dengan segala rupa perlakukan, tetap tidak akan menampilkan habitat asli hean.
Satwa nokturnal
Dari sejumlah satwa yang diamati, satwa nokturnal atau yang aktif pada malam hari paling bereaksi terhadap perubahan intensitas cahaya yang meredup saat terjadi gerhana matahari. Setidaknya, itu pengamatan para peneliti LIPI di Cibinong Science Center, Jawa Barat. Penelitian pada satwa dari kelompok mamalia, unggas, dan reptile.
Penelitian melalui pengamatan langsung dan melalui kamera pukul 05.30 -08.00 WIB. Gerhana matahari sebagian membuat langit Cibinong hampir seperti petang menuju malam hari.
Saat itu, satwa nokturnal cenderung beraktivitas ketika sinar matahari meredup. Selepas gerhana, satwa khususnya kukang terlihat gelisah, mengurangi gerakan dan ada yang bersembunyi di bawah pohon karena cahaya matahari muncul lagi.!break!
“Kukang sebagai satwa nokturnal paling bereaksi saat gerhana. Mereka kembali bangun dan menunjukkan aktivitas seperti memanjat pohon dan menoleh kanan-kiri,” kata peneliti Laboratorium Nutrisi dan Penangkaran Satwa Liar Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Wartika Rosa Farida.
Adapun satwa diurnal yang aktif siang hari, seperti landak Jawa dan Sumatera, jelarang, bajing tiga warna, serta sugar glider, tidak begitu menunjukkan perubahan aktivitas. Mereka tetap aktif saat gerhana matahari sebagian (GMS) terjadi.
Sementara itu, peneliti burung Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Rini Rachmatika, melakukan dua metode penelitian dengan pemantauan kamera dan pengamatan langsung. Pengamatan melalui kamera pengintai pada burung kakaktua tidak menimbulkan perubahan aktivitas. Lain halnya dengan perilaku burung kakatua goffin (endemic Maluku) dan burung betet yang aktivitasnya menurun saat puncak GMS.
“Burung yang aktif pada siang hari ini merasa hari sudah malam sehingga kakatua yang mulanya terbang-terbang lalu berkoloni dan cenderung diam saat gerhana. Burung betet malah tidur kembali,” kata Rini.
Ia memastikan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi aktivitas burung-burung karena satwa itu sudah beradaptasi. Kalaupun terancam kehadiran manusia, biasanya burung akkatua akan menaikkan jambul dan ada vokalisasi suara. Jadi, satu-satunya yang berpengaruh adalah cahaya matahari.
Satwa kelompok reptile yang diamati di penangkaran, seperti kura-kura, biawak dan ular tidak menunjukkan perubahan perilaku saat terjadi gerhana.
Reptil-reptil in cenderung diam karena tidak ada perubahan suhu yang sebenarnya lebih berpengaruh pada aktivitas reptile.
“Tidak ada perubahan aktivitas, termasuk ular yang nokturnal. Hanya ada gerakan kecil pada kura-kura dan itu normal. Reptil sangat terpengaruh pada suhu lingkungan. Saat gerhana tak ada perubahan suhu yang berarti,” kata Evy Arida, peneliti Harpetofauna LIPI.
Pada saat pengamatan, peneliti mencatat perubahan suhu lingkungan beserta tingkat kelembabannya. Saat gerhana, suhu turun 1 derajat menjadi 24 derajat Celsius. Tingkat kelembaban lingkungan naik 10 persen dari 81 persen menjadi 91 persen.
Daerah GMT
Selain di Cibinong, Kepala Pusat Penelitian Biologi (CSC LIPI Hari Warsito memaparkan laporan pengamatan peneliti LIPI di beberapa tempat dengan gerhana matahari total (GMT), seperti di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
“Sempat ada kegelisahan pada satwa-satwa karena perubahan intensitas cahaya yang sangat cepat dari sebelum terjadi gerhana, pada saat gerhana dan sesudah gerhana. Ada yang aktif dan ada yang tidur,” kata Hari.
Laporan peneliti LIPI di daerah, hewan seperti babi berbaring seperti tertidur saat terjadi GMT di Sulteng, lalu kembali makan saat cahaya terang kembali. Maleo sebagai satwa endemik Sulteng diam ketika GMT. Menjelang GMT, maleo-maleo itu tampak gelisah. Gelapnya cahaya adalah waktu untuk tidur.
Beberapa serangga seperti kumbanng kotoran dan tonggeret, berhenti beraktivitas saat GMT dengan bersembunyi dan mengeluarkan suara rendah, seperti suara jangkrik pada malam hari. Adapun kodok bersembunyi dan bersahut-sahutan seperti perilaku alami jelang malam.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR