"Demi nanga ngopa denanga dano,
Mitagi-tagi mimas didiki,
Mima idu mimas gogorena,
Sioko...ooo.ooo.dedengomi"
(Demi anak dan cucu kita,
Di saat kami berjalan, kami jadikan sebagai kontak,
Di saat kami tidur, kami jadikan sebagai pantai,
Kasihanlah.ooo...ooo...dengan kami)
Syair pengharapan agar diberi kemudahan perjalanan itu disenandungkan Muhlis Eso (36), penggiat sejarah di Pulau Morotai, Maluku Utara, saat mendaki Bukit 40, Minggu (17/7).
Meski badannya meriang, langkahnya mantap menyusuri tanjakan becek dan jalan setapak yang penuh ilalang. Semak rimbun berduri bukan halangan.
Hujan deras yang mengguyur dan koyo yang menempel di kedua pelipis tak menyurutkan langkahnya untuk terus berjalan sambil bercerita tentang sejarah Perang Dunia (PD) II di Morotai. Saat beberapa wisatawan yang dia dampingi mulai kelelahan, tenaga Muhlis justru seperti bertambah.
"Kalau meriang, obatnya harus masuk hutan seperti saat ini," katanya sambil tersenyum.
Kala itu, untuk kesekian kalinya Muhlis mendaki Bukit 40 (Hill 40), tempat berlangsungnya pertempuran besar-besaran antara pasukan Sekutu dan Jepang yang berakhir dengan penyerahan kekuasaan tentara Jepang ke Sekutu, 9 September 1945.
Dari puncak bukit setinggi sekitar 500 meter di atas permukaan laut, bagian selatan Pulau Morotai dan Selat Morotai terlihat jelas. Untuk mencapainya butuh 2,5 jam perjalanan dari Daruba, ibu kota Kabupaten Pulau Morotai. Perjalanan itu ditempuh dengan mobil selama setengah jam dan dilanjutkan berjalan kaki.
Saat matahari tepat di atas kepala, rombongan wisatawan yang dipandu Muhlis tiba di air terjun Nakamura. Derasnya suara air sudah terdengar sebelum air terjun itu terlihat. Saat berada di samping air terjun, uap air terbawa angin menyejukkan wajah.
"Di tempat inilah tentara Jepang, Teruo Nakamura, yang menolak menyerah kepada Sekutu pernah bersembunyi. Dia baru dibawa keluar hutan oleh tentara Indonesia tahun 1974 atau hampir 30 tahun setelah perang berakhir," katanya.
Hidupkan sejarah
Berada di bibir Samudra Pasifik dan berbatasan langsung dengan Filipina membuat Morotai sangat strategis dalam PD II. Morotai pernah menjadi bagian dari strategi lompat katak Panglima Perang Pasifik Pasukan Sekutu Jenderal Douglas MacArthur merebut kembali Filipina dari Jepang sekaligus memutus pergerakan Jepang di Pasifik barat daya.
Namun, tak semua orang Morotai mampu mengisahkan hal itu. Makin habisnya benda- benda peninggalan PD II, seperti pesawat tempur, tank amfibi, mobil jip, dan aneka senjata, membuat cerita pertempuran di Morotai tak terdokumentasikan.
Sejak pertengahan 1950-an, penjarahan sisa PD II dilegalkan pemerintah. Dari sekitar 3.000 kendaraan berat yang ada saat itu, kini, hanya tersisa dua tank amfibi, itu pun kurang terawat.
Beruntung ada Muhlis dan enam rekannya yang tergabung dalam kelompok Swadaya Pemerhati Museum PD II. Sudah lebih dari dua dekade, mereka mengumpulkan benda ataupun cerita tersisa. Meski sehari-hari hanya bekerja sebagai pegawai honorer, tukang becak motor, atau pemetik buah kelapa, tekad mereka kuat. Mereka ingin menghidupkan kembali sejarah PD II yang tercecer dan belum terungkap.
"Kami menggali benda-benda sisa perang, mulai dari pantai, kebun, hingga hutan di pegunungan Pulau Morotai. Tak ada satu barang temuan pun yang dijual meski tawaran datang menggiurkan," kata Muhlis.
Barang yang mereka temukan beragam, mulai dari aneka botol minuman ringan, wadah obat, tempat makanan, sepeda, senjata otomatis, peralatan instalasi listrik, meriam, mortar, hingga katana (pedang milik samurai). Sebagian besar temuan itu disimpan di museum sederhana berukuran 3 meter x 3 meter berdinding papan dan berlantai tanah di rumah Muhlis.
Meski berupaya mengonservasi sejarah Morotai, Muhlis dan rekannya tak pernah belajar khusus soal itu. Informasi lokasi strategis PD II didapat dari kisah para orang tua yang menjadi saksi sejarah. Informasi itu umumnya sesuai catatan dokumen sejarah atau kisah veteran perang Sekutu atau Jepang yang mengunjungi Morotai.
Untuk mencari dan menggali benda-benda sisa perang, Muhlis dan rekannya juga tak pernah belajar arkeologi. Segala cara dan alat mencari benda- benda tersebut dipelajari dan dibuat secara otodidak. Salah satunya besi lot untuk mendeteksi benda-benda sisa perang yang tertimbun tanah. Dengan alat berupa besi panjang dilengkapi sejenis cincin di ujungnya itu, mereka bisa memperkirakan jenis benda yang ada di dalam tanah, apakah keramik, besi, kuningan, atau mesiu.
Dari suara dan sampel benda yang menempel di ujung besi dan cincin itu, mereka akan menentukan apakah penggalian aman dilakukan atau tidak. Analisis empiris itu penting guna menghindari penemuan senjata aktif yang rentan bikin celaka.
"Dibutuhkan pengalaman dan kepekaan menentukan jenis benda yang tertimbun," ujarnya.
Biaya untuk mencari dan menggali barang-barang sisa perang itu mereka kumpulkan dari sumbangan kelompok. Anggota Swadaya Pemerhati Museum PD II lainnya, Ishak Kotu (34), mengatakan, sejak enam tahun lalu, dirinya selalu mengumpulkan empat karung kelapa setiap akan ke hutan mencari sisa peninggalan PD II. Dengan harga kelapa Rp 20.000 per karung, Ishak bisa mendapatkan Rp 80.000. Uang itu cukup untuk membeli bekal selama tiga hari-tiga malam di hutan.
"Istri saya tidak protes karena sebelum menikah sudah tahu kegiatan ini," kata pegawai honorer ini.
Anggota kelompok lainnya, Muhlis Aramin (41), nyaris bercerai. Istrinya tak setuju karena dianggap menghabiskan penghasilan dari menarik becak motor.
Namun, di tengah keterbatasan dan kendala, mereka tetap bertekad menjaga kepingan sejarah dunia di Morotai demi nama baik leluhur, generasi penerus, dan Indonesia.
(Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Menyelamatkan Sejarah Dunia di Morotai".)
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR