Nationalgeographic.co.id—Ledakan penduduk terjadi di Karesidenan Surabaya seiring dengan lajunya urbanisasi dan migrasi, dari desa-desa menuju Gemeente (Kotamadya) Surabaya.
Semenjak dikeluarkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang disebut juga sebagai Agrarische Wet pada tahun 1870, mendorong terjadinya perluasan pabrik gula di wilayah-wilayah Hindia-Belanda, utamanya Karesidenan Surabaya.
Engelbertus de Waal selaku Menteri dari Hindia Belanda, menetapkan Agrarische Wet sebagai kebijakan yang berisi tentang hukum administratif tanah untuk mengatur pembagian atas penguasaan tanah oleh pemerintah, masyarakat pribumi maupun non-pribumi.
Meluasnya pabrik-pabrik gula di Surabaya, pada akhirnya berdampak juga pada urbanisasi dan migrasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, "sehingga penduduk juga semakin padat," tulis Sudarmawan.
Widi Sudarmawan di bawah bimbingan Purnawan Basundoro, menuliskan jurnal berjudul Aktivitas Gementee Surabaya Tahun 1906-1942, yang dipublikasikan oleh VERLEDEN, pada tahun 2013.
"Kepadatan penduduk terjadi sekitar pabrik-pabrik gula yang kemudian berpengaruh terhadap pola pemukiman," ungkap F. W. M. Kerchman dalam tulisan Sudarmawan.
Pola-pola migrasi yang muncul dan merambah ke kota-kota besar di Jawa, utamanya Surabaya, berdampak pada pemukiman di areal pabrik-pabrik yang tumbuh subur akibat penerapan UUPA atau Agrarische Wet.
"Maka, timbullah 'kampung-kampung' di sekitar pabrik-pabrik gula yang padat dengan rumah-rumah penduduk pada daerah pedesaan," lanjut Sudarmawan. Berbeda dengan desa-desa sekitarnya, sebagian besar penduduk kampung-kampung itu tak memiliki sawah dan hanya bekerja di lingkungan pabrik.
Dengan begitu, dapat dikatakan, bahwa kampung-kampung dalam lingkungan pabrik mempunyai sistem kekerabatan modern dalam hal komunikasi, alat-alat transportasi, dan bentuk arsitektur pabrik bergaya modern, mengilhami warna baru dalam pola arsitektur pemukiman dalam masyarakat desa.
Adanya kepadatan penduduk di Karesidenan Surabaya, lantas menjadi masalah baru yang harus diselesaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda, maupun lembaga-lembaga swasta di bidang demografi.
"Untuk mengatasi (permasalahan) kesulitan (mencari lahan) pemukiman pada tahun 1906, Pmerintah Kota praja Surabaya membeli tanah seluas 130 ha di Gubeng Jepit untuk dikembangkan sebagai lahan perumahan," imbuhnya.
Upaya-upaya selanjutnya, dilakukan pada tahun 1916 dengan membeli kembali tanah seluas 138 ha di Ketabang Utara dan Selatan, serta 550 ha di Ngagel yang lebih dikenal dengan nama Jagir.
Wilayah Ketabang Utara difokuskan untuk pembangunan perumahan Eropa dan perkantoran kota praja dan sekolah tinggi yang dibangun oleh orang Eropa. Proyek pembangunan rumah orang-orang Eropa ini turut menggeser penduduk pribumi yang terdesak ke area pedalaman atau pelosok desa.
Pada tahun 1924, dibuat sebuah rancangan umum perbaikan sistem drainase dan riool kampung, yang diperkirakan akan menghabiskan anggaran sebesar f.600.000, yang merupakan proyek 6 tahun, dimana pertahunnya dikucurkan dana sebesar f.100.000.
Baca Juga: Granat di Benteng Kedungcowek dan Robohnya Cagar Budaya Kota Pahlawan
Nahas, di dalam proyek pengembangan pemukiman bagi orang Eropa, para buruh pabrik gula yang menghuni di kampung–kampung sekitar pabrik gula dan daerah pedesaan, kurang mendapat perhatian.
"Mereka mengalami kesulitan untuk dapat tinggal di rumah yang layak huni. Mereka juga harus membayar mahal baik sewa, beli, maupun sewa–beli itu sendiri," pungkas Sudarmawan.
Meski sejatinya berbunyi proyek penanggulangan dan permasalahan pemukiman, pada akhirnya penduduk pribumi yang menghuni pemukiman desa, mendapat ketimpangan dan ketidaksejahteraan dalam kehidupannya di Gemeente Surabaya.
Source | : | VERLEDEN: Jurnal Kesejarahan |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR