Penarikan kembali Galaxy Note 7 menimbulkan persoalan tersendiri terkait banyaknya jumlah perangkat yang dibuat dengan percuma dan berubah menjadi onggokan “sampah” elektronik.
Jutaan unit Galaxy Note 7 yang gagal beredar itu tak bakal diperbaiki, direkondisi, ataupun dijual kembali.
“Kami punya proses untuk membuang ponsel-ponsel tersebut dengan aman,” sebut Samsung mengenai nasib Galaxy Note 7, sebagiamana dirangkumKompasTekno dari Motherboard, Kamis (13/10/2016).
Pun demikian, kegagalan Galaxy Note 7 adalah tragedi lingkungan karena tiap ponsel dibikin dengan bahan yang tidak sedikit.
Institute of Electrical and Electronics Engineering pada 2013 pernah mengeluarkan perkiraan bahwa rata-rata ponsel membutuhkan material mentah seberat 75 kg untuk diproduksi, meskipun bobot akhirnya tak sampai setengah kilogram.
Sementara, jumlah material yang bisa diperoleh kembali dengan mendaur ulang ponsel relatif sedikit. Dari 50 jenis logam langka yang dipakai di Galaxy Note 7, misalnya, hanya sekitar selusin yang bisa diambil kembali.
“Indium (dipakai di layar sentuh), logam langka seperti magnet neodymium di speaker dan mikrofon, cobalt di baterai (bakal hilang),” ujar Kyle Wiens, CEO iFixit, mengenai bahan baku smartphone yang tak bisa didaur ulang.
Itu belum menghitung dampak terhadap para pekerja di hulu yang mengumpulkan bahan-bahan mentah. Kerja mereka jadi percuma belaka.
“Sangat menyedihkan bahwa (ponsel-ponsel itu) harus langsung menuju daur ulang tanpa pernah digunakan,” lanjut Wiens.
Samsung sendiri melakukan langkah-langkah untuk memastikan produknya bisa seramah mungkin terhadap lingkungan dan pekerja, misalnya dengan memakai material organik dan berkomitmen tak mengambil bahan mentah dari sumber kontroversial, seperti dari tambang yang mempekerjakan pekerja di bawah umur.
Namun hal tersebut tak mengubah keadaan bahwa hanya sebagian kecil bahan yang bisa diambil kembali dengan mendaur ulang ponsel. Nilai bahan-bahan recoverable tersebut diperkirakan hanya beberapa dollar AS.
Karena itulah pabrikan-pabrikan ponsel cenderung merekondisi produknya, untuk kemudian dijual kembali. Hal ini lebih ekonomis dan ramah lingkungan ketimbang coba mendaur ulang dan mengubah ponsel menjadi barang lain.
Hanya bagian kecil
Meski terdengar masif dengan 2,5 juta unit yang ditarik kembali dalam recallpertama saja, kasus kegagalan Galaxy Note 7 sebenarnya hanya bagian kecil dari keseluruhan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kehidupan manusia modern.
Angka 2,5 juta unit itu tak sampai 1 persen dari total pasaran smartphonedunia yang tercatat sebesar 342 juta unit hanya dalam waktu 3 bulan, yakni kuartal kedua 2016, menurut lembaga riset IDC.
Industri smartphone pun cuma salah satu bagian dari kegiatan produksi yang membuang-buang aneka bahan yang sulit diperoleh kembali, seperti logam langka tadi.
Kesialan yang dialami Samsung sebenarnya bisa dihindari dengan menggunakan baterai yang bisa dilepas pada Galaxy Note 7 -kalau benar baterai merupakan akar masalahnya.
“Kalau Samsung bisa mengirim unit baterai baru yang punya kapasitas 95 persen dari yang lama, yang lebih aman dari sebelumnya, tentu keadaanya akan baik-baik saja,” kata Wiens.
Baterai yang bisa dilepas sebelumnya selalu menjadi fitur standar ponsel Galaxy seri flagship, sebelum mulai menghilang seiring dengan diadopsinya faktor bentuk unibody.
Jika saja Samsung memakai baterai yang bisa dilepas untuk Galaxy Note 7, efek persoalan Galaxy Note 7 terhadap perusahaan tersebut tidak akan sebesar sekarang, begitupun dengan dampaknya terhadap lingkungan.
Apa daya, Samsung memilih untuk menanam baterai built-in yang dilekatkan dengan lem sehingga sangat sulit untuk diperbaiki maupun didaur ulang.
Nasi sudah menjadi bubur, namun setidaknya para pabrikan smartphone bisa belajar dari kasus ini. Seperti halnya kebocoran minyak yang memberikan peluang mencoba teknik pembersihan baru, recall massal mungkin bisa membuahkan metode daur ulang ponsel yang lebih efisien.
Penulis | : | |
Editor | : | endah trisulistiowaty |
KOMENTAR