Di tepi selatan dataran tinggi Iran yang dekat perbatasan Pakistan, terdapat benteng puncak bukit Arg-e Bam yang menandai Jalur Sutra. Menurut legenda, kota arsitektur tanah liat ini berutang keberadaannya kepada seekor cacing ajaib.
Dalam puisi epik berjudul Shahnameh oleh penyair Persia, Ferdowsi, seorang gadis sedang memintal kapas saat menemukan seekor cacing di apelnya. Karena terus makan dan tumbuh, cacing itu mengeluarkan sebuah benang sutra halus yang membawa kekayaan besar kepada ayah sang gadis, Haftvad, yang memperkuat kota tersebut untuk melindungi sihirnya. Menurut sejarawan dan ahli geografi Hamdollah Mostowfi, ketika serangan seorang penakluk menyerbu benteng tersebut dan menusuk cacing dengan tongkat logam, "Cacing Haftvad meledak, dan karena alasan itulah tempat tersebut mengambil nama Bam (yang berarti meledak)."
Cacing ajaib dalam epos Ferdowsi kemungkinan adalah seekor ulat sutra. Dibangun selama abad ke 6 hingga 4 SM di persimpangan rute penting perdagangan, Bam memperoleh reputasinya untuk produksi pakaian sutra dan katun, yang kabarnya sangat bagus, sehingga sampai ke dalam lemari raja.
Lokasinya yang strategis di lembah gurun, antara Pegunungan Kafut di utara dan Pegunungan Jebal-e Barez di selatan sangat penting bagi kemakmurannya. Sungai-sungai Alpen mengalir ke Bam melalui serangkaian qanats, saluran irigasi bawah tanah, yang mengubah kota ini menjadi oasis padang pasir yang mampu mempertahankan pertanian. Benteng berkubah dan struktur kubah merupakan ciri khas kota abad pertengahan kota yang diperkuat pertahanannya, dan dibangun dengan menggunakan chineh (lapisan lumpur) dan khesht (bata lumpur yang dijemur).
Pada abad ke-19, sebagian besar penduduk Bam pindah ke permukiman di luar benteng, namun bangunan dan masjidnya terus digunakan untuk pendidikan, praktik keagamaan, dan perayaan budaya seperti Nowruz, tahun baru Persia sampai abad ke-21. Pada pagi hari tanggal 26 Desember 2003, sebuah gempa berskala 6,6 di sepanjang Patahan Seismik Bam menghancurkan wilayah tersebut. Lebih dari 30.000 meninggal, puluhan ribu terluka, dan diperkirakan ratusan ribu kehilangan tempat tinggal. Sebagian besar dinding pertahanan Arg-e Bam dan Kantor Gubernur menjadi puing-puing, namun qanats dan pondasi benteng tetap utuh, menunjukkan lapisan sejarah baru bagi para arkeolog.
UNESCO menyiapkan rencana rekonstruksi komprehensif, dalam kurun waktu tahun 2008 sampai 2017 untuk memperbaiki kota dengan menggunakan teknik dan bahan arsitektur tanah asli. Pada tahun 2013 benteng tersebut dihapus dari Daftar Warisan Dunia yang dalam Bahaya dan pada tahun 2016, kerusakan tersebut sudah lebih dari 90 persen telah dipulihkan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR