Penelitian saya menemukan kerusakan pohon pinus terbesar adalah kategori 4 (pohon tumbang tercerabut dari akarnya) sebanyak 31%. Sebanyak 23% dari pepohonan patah (kategori 3), dan 21% terbakar dengan cabang yang patah (kategori 2). Pohon yang hanya terbakar sebanyak 16% dan hanya 9% pohon pinus yang selamat.
Debu vulkanik juga berdampak terhadap tumbuhan. Debu-debu vulkanik yang jatuh dan menempel di permukaan daun dapat menghambat proses fotosintesis sehingga memperlambat pertumbuhan. Biasanya hujan yang disertai angin dapat menghilangkan debu-debu tapi perlu beberapa waktu. Debu tidak segera hilang setelah hujan pertama.
Baca juga: Letusan Gunung Agung Bisa Menghasilkan Tanah Tersubur di Dunia
Beberapa jenis tumbuhan yang tidak dapat beradaptasi terhadap kondisi vulkanik ini akan mati, sedangkan beberapa jenis tumbuhan dengan karakter fisiologi yang khusus mampu beradaptasi dengan kondisi ini dan bertahan bahkan mampu berkembang biak.
Di Gunung Merapi, misalnya, untuk beradaptasi dengan wedhus gembel yang membakar vegetasi, beberapa jenis tumbuhan seperti pohon Casuarina junghuhniana memiliki kulit batang yang keras dan tebal untuk melindungi dari suhu panas yang tinggi. Jenis pohon Casuarina ini juga terdapat di lereng Gunung Agung.
Beberapa jenis pohon lainnya seperti tusam (Pinus merkusii) justru memanfaatkan api dan suhu yang tinggi ini untuk membantu perbanyakan anakan. Suhu tinggi ikut membantu memecahkan kulit biji tusam yang keras sehingga biji dapat berkecambah dan menjadi semai anakan baru.
Ekosistem alam ibarat karet gelang. Karet gelang jika ditarik akan melar. Jika tarikan tersebut dilepaskan, karet akan kembali ke posisi awal asalkan tarikan masih dalam batas normal atau tidak melampaui elastisitasnya. Jika melampaui tingkat elastisitasnya, maka karet akan putus.
Demikian juga sebuah ekosistem alam. Tarikan dalam konteks ekosistem adalah sebuah gangguan (misalnya erupsi gunung api). Ekosistem alam memiliki kemampuan untuk memperbaiki sendiri (self-repair) setelah mengalami gangguan, yaitu melalui proses yang dinamakan suksesi.
Penimbunan vegetasi tumbuhan oleh material erupsi akan memicu terjadinya proses suksesi primer dalam vegetasi. Proses suksesi primer terjadi ketika semai-semai pohon dari biji yang berasal dari tumbuhan di lokasi lain yang tidak terkena erupsi mulai bermunculan. Biji-bijian ini mungkin dipencarkan oleh binatang-binatang seperti serangga dan burung, atau angin.
Suksesi primer dan regenerasi vegetasi yang terjadi di atas aliran lahar tebal seperti yang dapat dijumpai di kawasan sekitar Gunung Batur Bali membutuhkan waktu yang lama. Ahli biologi Anthony J. Whitten dan rekannya menulis kurang lebih setahun setelah erupsi Gunung Agung pada 1963, diperkirakan hanya 10% permukaan tanah di sekitar Besakih yang diselimuti rerumputan hijau, terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu), semak belukar, dan tunas-tunas pohon-pohon yang terkena dampak erupsi. Secara keseluruhan pada saat itu ditemukan 83 jenis tumbuhan. Sedangkan sisa permukaan tanah (90 % lainnya), tetap gundul, “bagaikan telah disemen”.
Sedangkan dari awan panas yang membakar vegetasi proses suksesi sekunder terjadi. Suksesi sekunder terjadi jika sesudah gangguan seperti erupsi atau kebakaran akibat awan panas masih tersisa beberapa tanaman individu yang masih hidup, bertunas atau masih tersisa warisan biologis.
Lahan yang telah gundul akibat erupsi tertutupi oleh lahar yang mengeras dan perlahan-lahan akan retak. Di retakan itu akan muncul tumbuhan pionir (mungkin lumut dan paku-pakuan) yang akan memfasilitasi tumbuhan tingkat tinggi yang lain dapat tumbuh di areal tersebut.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR