"Kami selalu membuka diri dan terbuka untuk diskusi terkait pembangunan infrastruktur di beberapa taman nasional. Silakan publik berikan masukan dan kritik," tulis Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepada kami melalui pesan WhatsApp.
Wiratno juga menekankan bahwa pemerintah (dalam hal ini direktorat dan unit pengelolaan teknis yang dia pimpin) selalu membuka diri untuk melakukan dialog konstruktif dan, "kami ingin kita saling memberikan enlightment ya."
Bukan cuma itu, Wiratno dengan gamblang membuka ruang diskusi melalui pesan WhatsApp pribadinya. "Silakan je kontak nomor WA saya di 0821-45705338. Bahkan, saya ingin ajak publik untuk cermati rencana 2018," kata Wiratno dengan gaya khas Yogyakarta-nya.
Seorang penambang belerang di tepi Kawah Ijen (Fery Fahrur Rohman/fotokita.net)
Pernyataan Wiratno tadi terkait dengan adanya petisi "Save Kawah Ijen, Stop Pembangunan di Puncak". Petisi yang digagas oleh Sea Soldier Banyuwangi ini telah ditandatangani sekitar 13.000 orang sejak dibuat pada Kamis (2/11/2017). Petisi ini muncul lantaran beredarnya foto-foto keadaan jalur pendakian Gunung Ijen yang berlubang mendapatkan reaksi dari warganet.
Dalam petisi tersebut dijelaskan bahwa Kawah Ijen adalah sebuah gunung berapi aktif yang berada di perbatasan Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi, Jawa Timur. Gunung yang terkenal dengan kawah hijau tosca dan blue fire (api biru) ini menjadi salah satu magnet wisata di Jawa Timur.
Kawasan Gunung Ijen adalah taman wisata alam yang berdampingan dengan cagar alam. Luas taman wisata alam di Kawah Ijen hanya sekitar 93 hektar, sedangkan sisanya merupakan cagar alam. Kawasan Gunung Ijen juga merupakan tempat berbagai biota yang dilindungi, seperti elang jawa dan beberapa tanaman langka.
(Baca juga: Semburat Api Biru Ijen yang Mendunia)
Seorang kuli sedang mengambil belerang yang telah membeku di Kawah Ijen, salah satu daerah tambang belerang di Indonesia. Banyak kuli angkut yang bekerja berisiko terkena penyakit paru-paru karena tidak menggunakan masker ketika bekerja, padahal gas belerang sangat berbahaya untuk kesehatan, khususnya paru-paru. (Yohanes Prahara)
"Karena berdampingan dengan cagar alam itulah, sangat tidak tepat jika Ijen dijadikan wisata massal (mass tourism), termasuk dengan masifnya pembangunan di sana, bahkan hingga puncak Gunung dekat dengan kawah," jelas Putri, dari Sea Soldier Banyuwangi, saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/11/2017).
Dalam petisi tersebut, menurut Putri, dijelaskan pula bahwa segala aktivitas pembangunan dan kegiatan manusia yang berlebihan di kawasan ini akan memengaruhi ekosistem dan konservasi alam.
Meski pembangunan diklaim dilakukan di kawasan blok publik, tetapi pembangunan ini secara jangka panjang akan memengaruhi ekosistem habitat biota di Kawasan Gunung Ijen. Apalagi bangunan yang dibuat di atas puncak merupakan bangunan permanen dengan beton, semen, dan galian fondasi di puncak gunung.
Kawah belerang di Gunung Ijen. (Akarat Phasura/Thinkstock)
"Untuk itu, kami mengajak seluruh masyarakat yang peduli terhadap lingkungan untuk menandatangani petisi ini untuk menolak seluruh pembangunan yang dilakukan BKSDA di puncak Ijen. Bukan hanya merusak keindahan asli Gunung Ijen, tapi juga berpotensi membahayakan ekosistem dan konservasi di kawasan Gunung Ijen," jelas dia.
Petisi tersebut akan dikirimkan ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, serta Gubernur Jawa Timur.
(Baca juga: Mengais Berkah di Gejolak Kawah)
Sementara itu, saat dihubungi Kompas.com melalui telepon, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mengatakan bahwa pembangunan di kawasan puncak Ijen bukan tindakan yang tepat walaupun secara aturan diperbolehkan karena masuk kawasan wisata alam.
Kawasan wisata Gunung Ijen dipenuhi wisatawan yang ingin melihat api biru yang terdapat di kawahnya, juga untuk melihat matahari terbit. Jika kita bisa melihat api biru di kawah dan matahari terbit di puncaknya, artinya kita mendapat strike. (Warsono, National Geographic Traveler)
Namun, pembangunan itu harus tetap mempertimbangkan aspek keselamatan biota yang ada di wilayah tersebut karena berbatasan langsung dengan wilayah cagar alam.
"Perlu ada kajian secara mendalam terkait ini dan kami secara tegas menolak segala pembangunan di kawasan yang berdampingan dengan cagar alam," tegas Ketua Walhi Jatim Rere Christanto.
Sebelumnya diberitakan bahwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur akan membangun sarana dan prasarana di kawasan Gunung Ijen dengan total anggaran mencapai Rp 13 miliar, termasuk pendopo dan toilet di kawasan puncak Gunung Ijen.
Saat ini pembangunan tersebut sedang berjalan dan ditargetkan selesai pada Desember 2017 untuk tahap pertama.
Sebagian artikel ini yang ditulis oleh Ira Rachmawati ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Petisi "Save Kawah Ijen" Tuai Ribuan Tanda Tangan Warganet.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR