Karenanya, cara perawat dan dokter berkomunikasi dengan mereka tentang vaksinasi, sangatlah penting.
Ada banyak riset yang menjelaskan komunikasi tentang vaksin, dan para peneliti masih mengidentifikasi metode apa yang berfungsi baik. Komunikasi tentang vaksin terjadi dalam berbagai cara, mulai dari percakapan pribadi dengan dokter dan perawat, hingga cakupan berskala luas seperti papan reklame dan iklan radio.
Yang bisa membuat komunikasi menjadi rumit adalah keputusan dan perilaku orang tua yang bervariasi, tergantung dari misalnya, jenis vaksin. Ketika orang tua memiliki perilaku negatif tentang vaksin, sering kali itu didasarkan pada informasi yang salah atau narasi emosional tentang reaksi merugikan dari vaksin.
Jadi, penyedia layanan kesehatan punya tantangan untuk memperbaiki persepsi yang salah mengenai risiko vaksin.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh penyedia layanan kesehatan saat membicarakan soal imunisasi dengan orang tua yang meragukan vaksin. Adalah penting untuk membicarakan kekhawatiran spesifik orang tua. Dokter harus mendiskusikan vaksin dari berbagai perspektif, seperti manfaat vaksinasi (mencegah penyakit bagi seseorang dan orang lain), serta risikonya bila tidak divaksin (rentan terhadap penyakit).
Riset menunjukkan bahwa menyesuaikan perbincangan dengan kekhawatiran orang tua bisa secara positif mempengaruhi hubungan antara penyedia layanan kesehatan dengan orang tua, dan memelihara rasa percaya.
Penyedia layanan kesehatan harus memasukkan informasi yang akurat tentang risiko vaksin dalam percakapan. Jangan hindari diskusi mengenai kemungkinan efek samping negatif dari vaksin, sebab komunikasi risiko adalah vital.
(Baca juga: Ilmuwan Kembangkan Vaksin untuk Perangi HIV)
AAP menyarankan untuk menyesuaikan percakapan dengan orang tua, memahami dan merespons kekhawatiran spesifik mereka. Dokter harus berbicara kepada orang tua mengenai pengelolaan efek samping yang biasa terjadi, dan apa yang harus dilakukan bila terjadi reaksi yang lebih serius.
Beberapa orang tua juga merasa perlu untuk membandingkan risiko memvaksin versus risiko tidak memvaksin.
Sebuah studi pada 2013 menunjukkan, orang dewasa lebih mungkin divaksin jika orang di sekitar mereka juga melakukannya. Pada orang dewasa, bukti juga menunjukkan kepedulian akan imunitas kelompok—atau ketika ambang kritis individu divaksinasi sehingga membuat penyakit lebih sulit menyebar—bisa memberikan efek positif pada niat seseorang untuk divaksin.
Meski orang dewasa paling khawatir soal risiko pribadi terkena sakit, mereka juga bisa menjadi sensitif terhadap manfaat sosial vaksinasi. Akan tetapi, begitu menyangkut soal keputusan orang tua untuk memvaksin anak atau tidak, mungkin lebih penting untuk fokus pada manfaat langsung imunisasi untuk anak-anak.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR