Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat dilanda beberapa wabah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh vaksin, seperti pertusis (batuk rejan) dan campak.
Sementara itu, pada kurun waktu yang sama, tingkat penolakan vaksin meningkat, dan makin banyak orang tua yang meminta modifikasi jadwal vaksin, yang berbeda dari yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics.
Mayoritas orang tua memvaksinasi anak-anak mereka sesuai jadwal. Hanya sebagian kecil yang menolak semua vaksinasi untuk anak-anak mereka. Ada pula yang ingin anak-anak mereka menerima vaksin tapi tidak semuanya, atau menginginkan jadwal vaksin yang berbeda.
Mengapa kelompok ini mengabaikan rekomendasi asosiasi dokter? Sebuah studi tahun 2011 menunjukkan, hal tersebut banyak dipengaruhi oleh ketakutan mengenai efek samping vaksin. Beberapa orang tua khawatir soal “komposisi kimia” vaksin atau soal pemberian vaksin sekaligus dalam satu waktu.
Ada yang tidak percaya bahwa vaksin itu efektif. Sebagian lainnya menganggap bahwa penyakit seperti influenza atau varicella (cacar air) tidak terlalu serius. Yang juga perlu diperhatikan, Komite AAP soal Bioetik mencatat bahwa beberapa orang tua mungkin menolak vaksin karena masalah biaya atau hambatan untuk mengakses layanan kesehatan yang memadai.
(Baca juga: 5 Mitos Keliru Seputar Vaksin)
Meski riset telah membuktikan keamanan dan efektivitas vaksin, serta mengindikasikan bahwa risiko efek samping dari vaksin kanak-kanak sangatlah kecil, banyak orang tua yang masih memiliki kekhawatiran.
Orang tua sekarang ini memiliki akses ke begitu banyak informasi melalui internet, yang telah terbukti secara signifikan berpengaruh. Orang tua pun punya tantangan tersendiri untuk memisahkan mana informasi yang bisa diandalkan, dan mana yang tidak.
Sementara itu, kita cenderung mencari, lebih memperhatikan, dan lebih mengingat informasi yang kita duga mungkin benar. Ini disebut asimilasi bias. Jadi orang tua yang percaya bahwa vaksin berbahaya mungkin memilih hanya mencatat informasi yang mendukung sudut pandangnya.
Perilaku vaksin berlangsung dalam rangkaian kesatuan/kontinum. Di satu sisi, ada orang tua yang sepenuhnya mendukung vaksin, dan di sisi lain ada orang tua yang menentang vaksin.
Di tengah-tengah, terdapat spektrum yang luas dan rumit yang berisi orang tua yang ragu-ragu atau tidak yakin dengan vaksin. Tetapi mereka semua sama: berusaha melakukan apa yang mereka anggap terbaik bagi anak-anak mereka.
Ketika berhadapan dengan orang tua yang masuk ke golongan penentang vaksin, penyedia layanan kesehatan bisa menghadapi kesulitan. Sebab mereka memiliki pendapat yang kuat dan sangat yakin akan kebenaran yang mereka percayai.
Namun orang tua di tengah-tengah spektrum, sering kali hanya kurang yakin mengenai vaksinasi (belum sampai tahap menentang). Karena itulah beberapa peneliti menekankan pentingnya usaha intervensi yang proaktif ditujukan ke sekelompok luas orang tua yang meragukan vaksin. Sebab mereka umumnya bisa menerima informasi mengenai vaksinasi dari sumber terpercaya.
Karenanya, cara perawat dan dokter berkomunikasi dengan mereka tentang vaksinasi, sangatlah penting.
Ada banyak riset yang menjelaskan komunikasi tentang vaksin, dan para peneliti masih mengidentifikasi metode apa yang berfungsi baik. Komunikasi tentang vaksin terjadi dalam berbagai cara, mulai dari percakapan pribadi dengan dokter dan perawat, hingga cakupan berskala luas seperti papan reklame dan iklan radio.
Yang bisa membuat komunikasi menjadi rumit adalah keputusan dan perilaku orang tua yang bervariasi, tergantung dari misalnya, jenis vaksin. Ketika orang tua memiliki perilaku negatif tentang vaksin, sering kali itu didasarkan pada informasi yang salah atau narasi emosional tentang reaksi merugikan dari vaksin.
Jadi, penyedia layanan kesehatan punya tantangan untuk memperbaiki persepsi yang salah mengenai risiko vaksin.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh penyedia layanan kesehatan saat membicarakan soal imunisasi dengan orang tua yang meragukan vaksin. Adalah penting untuk membicarakan kekhawatiran spesifik orang tua. Dokter harus mendiskusikan vaksin dari berbagai perspektif, seperti manfaat vaksinasi (mencegah penyakit bagi seseorang dan orang lain), serta risikonya bila tidak divaksin (rentan terhadap penyakit).
Riset menunjukkan bahwa menyesuaikan perbincangan dengan kekhawatiran orang tua bisa secara positif mempengaruhi hubungan antara penyedia layanan kesehatan dengan orang tua, dan memelihara rasa percaya.
Penyedia layanan kesehatan harus memasukkan informasi yang akurat tentang risiko vaksin dalam percakapan. Jangan hindari diskusi mengenai kemungkinan efek samping negatif dari vaksin, sebab komunikasi risiko adalah vital.
(Baca juga: Ilmuwan Kembangkan Vaksin untuk Perangi HIV)
AAP menyarankan untuk menyesuaikan percakapan dengan orang tua, memahami dan merespons kekhawatiran spesifik mereka. Dokter harus berbicara kepada orang tua mengenai pengelolaan efek samping yang biasa terjadi, dan apa yang harus dilakukan bila terjadi reaksi yang lebih serius.
Beberapa orang tua juga merasa perlu untuk membandingkan risiko memvaksin versus risiko tidak memvaksin.
Sebuah studi pada 2013 menunjukkan, orang dewasa lebih mungkin divaksin jika orang di sekitar mereka juga melakukannya. Pada orang dewasa, bukti juga menunjukkan kepedulian akan imunitas kelompok—atau ketika ambang kritis individu divaksinasi sehingga membuat penyakit lebih sulit menyebar—bisa memberikan efek positif pada niat seseorang untuk divaksin.
Meski orang dewasa paling khawatir soal risiko pribadi terkena sakit, mereka juga bisa menjadi sensitif terhadap manfaat sosial vaksinasi. Akan tetapi, begitu menyangkut soal keputusan orang tua untuk memvaksin anak atau tidak, mungkin lebih penting untuk fokus pada manfaat langsung imunisasi untuk anak-anak.
Untuk meningkatkan cakupan vaksin di kalangan orang tua untuk anak-anak mereka, beberapa peneliti merekomendasikan pendekatan “dugaan”, yang berasumsi bahwa orang tua akan memvaksin anak-anaknya.
Ada pula pendekatan “partisipatif” di mana penyedia layanan kesehatan menanyakan orang tua mengenai preferensi mereka soal vaksinasi. Para penyelidik ini menanyakan kepatutan pengambilan keputusan bersama dalam konteks keputusan vaksin.
Akan tetapi, peneliti lain menganjurkan pendekatan “bimbingan”. Di sini, fokusnya adalah membicarakan kekhawatiran orang tua yang meragukan vaksin, dan membantu mereka memahami penting dan perlunya vaksin. Ini berbeda dengan pendekatan “direktif” di mana penyedia layanan kesehatan intinya menginstruksikan orang tua untuk melakukan vaksinasi.
Diperlukan lebih banyak lagi riset untuk menentukan intervensi dan cara komunikasi seperti apa yang paling efektif mengurangi keraguan dan penolakan orang tua.
Yang jelas, penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang disesuaikan serta penuh rasa hormat, dan rekomendasi langsung dari penyedia layanan kesehatan, terbukti berpengaruh pada peningkatan cakupan vaksinasi.
Kristin S. Hendrix, Assistant Professor of Pediatrics, Indiana University School of Medicine
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR