Nationalgeographic.co.id—Siapa sangka, ternyata makanan ringan khas kota Salatiga Jawa Tengah ini sudah berusia lebih dari seratus tahun. Dimana makanan ringan ini menjadi sejarah keberadaan orang Tionghoa di kota Salatiga. Hingga sekarang, makanan ringan ini masih diproduksi dan menjadi buah tangan andalan bagi para pendatang.
Makanan ringan yang bertekstur kering terbuat dari olahan kacang tanah dan gula memberikan perpaduan rasa manis, gurih, dan renyah kepada para penikmat enting-enting gepuk khas kota Salatiga. Tak disangka, enting-enting gepuk ternyata menjadi tanda keberadaan orang Tionghoa yang datang dan menetap di kota Salatiga pada masa itu.
Tim National Geographic Indonesia melakukan kunjungan ke salah satu rumah produksi enting-enting gepuk pertama di Salatiga. Sejarah enting-enting gepuk menurut Hartono (54) sebagai penerus produksi enting-enting gepuk pertama di Salatiga, awal dimulai sekitar tahun 1929 oleh Khoe Tjong Hok. Dia merupakan salah seorang juru kunci Klenteng Hok Tiek Bio Salatiga yang berasal dari Tiongkok.
Perjalanan Enting-Enting Gepuk
Pada masa itu, Khoe Tjong Hok untuk menambah penghasilannya di kota Salatiga, memulai membuat makanan ringan berbahan dasar kacang tanah asin dan kacang kering lalu dijualkannya kepada para pengunjung yang mengantri untuk bersembahyang di Klenteng Hok Tiek Bio Salatiga.
Seiring berjalannya waktu, Khoe Tjong Hok menambahkan gula sebagai bahan dasar tambahannya, untuk menciptakan rasa manis pada olahan gepuk kacang, dan memberi isian kacang tanah yang telah digepuk juga. Karena itu, makanan ringan ini disebut sebagai enting-enting gepuk.
“Kalau di Tiongkok, makanan ini sebutannya bukan enting-enting gepuk, tetapi kue kacang, biasanya dijual dipinggiran Tembok Cina begitu. Bentuknya juga berbeda dengan enting-enting dan enting-enting gepuk ini menggunakan tambahan gula yang diolah menjadi karamel, rasanya juga berbeda. Kami menggunakan kacang lokal juga,” ungkap Hartono (54) pada wawancara tim National Geographic Indonesia.
Saat itu, Khoe Tjong Hok masih mengemas enting-enting gepuk dengan menggunakan daun bambu, dibentuk menjadi segitiga, lalu dijual dalam sebuah keranjang karena waktu itu harga pembungkus makanan masih terbilang mahal. Saking banyaknya orang yang menikmati makanan ringan ini, Khoe Tjong Hok kewalahan untuk memproduksi enting-enting gepuk sendirian dan pastinya banyak saingan yang menjualkan enting-enting gepuk juga.
Maka dari itu Khoe Tjong Hok meminta bantuan kepada anak-anaknya untuk membantu memproduksi dan menjualkan enting-enting gepuk. Khoe Tjong Hok juga menambahkan kualitas dan isi yang lebih padat pada enting-enting gepuknya.
Keluarga Khoe Tjong Hok
Khoe Tjong Hok selama di Salatiga memiliki 5 orang anak, yaitu Khoe Poo Liong, Koe Djioe Nio, Khoe Tan Nio, Khoe Poo Soen, dan Khoe Poo Hauw. Pada saat kematian Khoe Tjong Hok, produksi enting-enting gepuk ini diteruskan oleh anak-anaknya, terutama anak pertama, kedua, dan ketiga.
Hingga masa ini, produksi enting-enting gepuk diteruskan oleh Hartono anak ketiga dari keturunan Khoe Tan Nio putri ketiga Khoe Tjong Hok, dan Khoe Lio Lien dari keturunan Khoe Poo Hauw, putra kelima Khoe Tjong Hok.
“Enting-Enting Gepuk Cap Klenteng dan 2 Holo” inilah yang merupakan merk dari keturunan Khoe Tan Nio.
Pada kemasannya juga memiliki simbol sebagai cerita keluarga mereka. Simbol klenteng yang merupakan Klenteng Hok Tiek Bio, di mana keluarga mereka dulunya, selain menjaga klenteng juga menjualkan makanan ringan mereka di dalam klenteng tersebut. Simbol 2 Holo, di mana tertulis nama putra pertama Khoe Tjong Hok kemudian dilanjut dengan kedua putri dan kedua putranya.
Seiring berjalannya waktu, enting-enting gepuk kini telah diproduksi oleh banyak pihak, tak hanya dari keturunan Khoe Tjong Hok saja. Namun itu tak menjadi masalah, enting-enting gepuk sudah menjadi icon kota Salatiga dan memiliki banyak peminat, karena selain rasanya yang unik, enting-enting gepuk juga menjadi solusi mudah oleh-oleh untuk keluarga luar kota.
Baca Juga: Asal Usul Nama Salatiga, Benarkah Karena Ada Tiga Kesalahan?
Penulis | : | Ratu Haiu Dianee |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR