Nationalgeographic.co.id—Esktremis bisa didefinisikan sebagai orang yang ekstrem atau yang melampau kebiasaan untuk membela atau menuntut sesuatu. Definisi ini kerap disampaikan oleh keamanan dan pemerintahan sebagai sesuatu yang harus ditangkal seperti radikalisme dan terorisme.
Tidak usah terlalu lama menunggu kasus terorisme, ekstremisme bisa Anda temukan di sosial media ketika terdapat kelompok yang berdebat atau berujar kebencian hanya demi membela sesuatu yang diyakini terlalu berlebihan.
Padahal, dalam KBBI ekstremis juga didefinisikan para pejuang pada masa perang kemerdekaan untuk melawan Belanda. Pada konteks sejarah pun, ekstremis juga diwanti-wanti oleh kolonial karena akan mewujudkan separatisme atau kemerdekaan yang terlepas dari Kerajaan Belanda.
Bertahun-tahun, banyak ilmuwan dari berbagai disiplin yang meneliti tentang ekstremis. Para peneliti di RAND Corporation lewat studinya adalah salah satunya dalam buku elektronik yang diterbitkan pada 2021 berjudul Violent Extremism in America.
Mereka mewawancarai berbagai kelompok ekstrem di Amerika Serikat seperti nasionalis garis keras, kulit putih, ekstremis Islam, beserta anggota keluarga dan teman-teman mereka.
"Sampel kami sangat heterogen, mencakup kasus radikalisasi yang terjadi selama beberapa dekade, di berbagai wilayah geografis, dan dengan berbagai kelompok dan ideologi," terang para penulis di dalam buku.
Mereka menyimpulkan ada tiga karakteristik utama yang menjadi latar belakang seseorang bisa menjadi ekstremis. Pertama, adanya ketidakstabilan keuangan yang membuat seseorang bisa bergabung dengan organisasi ekstremisme.
Kemudian, masalah kesehatan mental seperti kemarahan, trauma, penyalahgunaan narkoba dan depresi, serta masalah fisik. Ekstremisme lewat kelompok juga bisa memanfaatkan seseorang yang rentan kesehatan mentalnya. Ketika seseorang masuk ke dalamnya, kelompok bisa memperkuat narasinya dengan membatasi akses informasi atau keadaan yang menantang konstruksi ideologis.
Dan terakhir, faktor sosial seperti marginalisasi, vikitimisasi, dan stigma. Misalnya, ekstremisme Islam yang berkembang di negara mayoritas non-Muslim yang biasanya timbul akibat stigma yang diberikan.
"Tindakan hukum, pembatasan berpendapat, dan wacana publik yang mengudang kembarahan dapat menjadi bumerang dan meningkatkan dorongan untuk radikalisasi," lanjut para peneliti.
Nafees Hamid, ahli kogntif di University College London di Inggris, dan anggota International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) di Den Haag, menjabarkan bagaimana isi pikiran seseorang bisa berubah secara ekstrem.
"Ada yang disebut sebagai nilai sakral yang Anda enggan berkompromi untuk nilai-nilai ini," terangnya di Vox. "Jika melihat nilai-nilai ini terancam, Anda akan rela mengorbankan nyawa atau memperjuangkan nilai-nilai ini." Nilai-nilai sakral adalah prinsip yang paling dalam pada kehidupan kita seperti cinta untuk keluarga, berkeyakinan, atau kesetiaan pada negara.
Otak memproses nilai-nilai ini dengan cara yang berbeda. Dorsolateral prefrontal cortex di bagian depan otak yang berperan untuk pengendalian diri dan mempertimbangkan sesuatu biasanya jadi tidak aktif ketika nilai sakral terusik.
Namun, bagian ventromedial prefrontal cortex di bagian depan bawah otak yang berperan untuk menggabungkan emosi dan penilaian kita tetap aktif sebagai penentu keputusan sikap.
Baca Juga: Catatan Teror Orang Maluku di Belanda, Mengapa Peristiwa Ini Terjadi?
Hamid mendapati temuan ini setelah bergabung dalam kelompok penelitian yang makalahnya dipublikasikan di jurnal Perspectives on the Moral Psychology of Violent Conflict, Desember 2018. Mereka membuat eksprimen 38 orang keturunan Maroko yang terpapar radikalisme di Barcelona, Spanyol, dengan memindainya.
Dalam alat pemindaian, mereka dihadapkan layar yang menampilkan survei berisi pertanyaan nilai-nilai Islami dan menilai seberapa bersediakah mereka untuk mengorbankan hidupnya pada nilai-nilai tersebut. Peserta eksperimen ini masih ditahap awal radikalisme berdasarkan jawaban pertanyaan itu, terang peneliti.
Kemudian peserta bermain bola lempar bersama tiga pemain virtual yang merupakan kulit putih Spanyol. Awalnya setiap pemain saling melempar, tetapi suatu momen tiga orang kulit putih Spanyol itu tak melempar bola kepada peserta.
Hamid dan tim memindai kembali mereka dan mendapati perubahan yang signifikan setelah permainan itu. Pilihan mereka jadi lebih ekstrem untuk berjuang atau mati-matian demi membela nilai-nilai Islami. Pada hasil pindaian, inferior frontal gyrus mereka mulai aktif dan menjadi lebih radikal.
"Orang-orang merasa dikucilkan, dan mereka mungkin menguatkan identitas lainnya yang melihat sebagai pejuang musuh terhadap grup yang mengucilkan mereka," ujar Hamid.
Apakah ada cara untuk meredakan seseorang dari pandangan ekstremisme? Penelitian tahun 2021 itu menawarkan beberapa cara untuk membantu para ekstremis untuk meningalkan kebencian berlebih.
Pertama, ekstremis sebaiknya dipaparkan dengan berbagai ide, terutama mereka yang masih anak-anak. Bantulah mereka untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Kemudian, berikan mereka ruang di lingkungan inklusif dan berikan contoh pada mereka kegiatan prososial.
Selanjutnya, Anda bisa memberikan paparan tentang ada banyak kelompok, ras, etnis, dan budaya di dunia. Pihak berwenang juga harus memahami marginalisasi yang mereka alami, dan bantu mengatasi permasalahan ini secara lebih luas.
Terakhir, kurangi polarisasi dan sensasionalisme di media yang selama ini dikonsumsi. Atau, Anda juga bisa memudahkan mereka untuk akses perawatan kesehatan mental, saran para peneliti.
Baca Juga: Membedah Kondisi Psikologis dan Isi Kepala dari Penjahat Kelamin
Source | : | Vox,Big Think |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR