Memasuki tahun 1934, pemerintah kolonial memanfaatkan lahan-lahan perkebunan tebu yang terbengkalai dengan membudidayakan tanaman rosela (Hibiscus Sabdariffa linn) sebagai bahan utama pembuatan karung goni.
"Setelah beberapa tahun membudidayakan tanaman rosela di Delanggu, baru tahun 1938 untuk pertama kalinya, perusahaan itu menghasilkan karung goni yang siap dipasarkan," tambah Riska.
Pabrik gula yang telah lama tutup, akhirnya hidup kembali untuk memproduksi karung goni yang bersifat komersil. Di dalam kompleks perusahaan, dipekerjakan sejumlah 2.800 orang dari 15.567 orang buruh yang terlibat dalam ikatan kerja dengan perusahaan karung.
"Dari 2.800 orang buruh, dibedakan menjadi tiga golongan dari pekerjaannnya di dalam perusahaan," jelasnya. Tiga golongan itu: pegawai staf administratif, teknisi pabrik, dan pengawas.
Konsentrasi kegiatan usaha di Delanggu menyebabkan sebagian besar tenaga kerja tersebut diambil dari wilayah Delanggu sendiri. Sekitar 80% dari karyawan pabrik adalah pria, 15% wanita dan 70% dari seluruh karyawan sudah berkeluarga.
Meskipun kenyataannya, secara sosial, keberadaan pabrik karung goni semakin mempertajam kelas-kelas sosial di Delanggu, di mana golongan pegawai memiliki kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh pabrik yang selalu diperah tenaganya.
Baca Juga: Sekelumit Sejarah Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu dari Masa ke Masa
Baca Juga: Zaman Hindia Belanda, Pabrik Gula Dorong Kemajuan Infrastruktur Klaten
Baca Juga: Agrarische Wet dan Dinamika Pola Pemukiman di Surabaya Abad ke-19
Beroperasinya pabrik karung membuat perekonomian masyarakat kembali membaik setelah peristiwa malaise, depresi ekonomi yang memperparah kondisi hidup rakyat Delanggu.
Bagi pemerintah kolonial, Industri karung goni tersebut membantu pemerintah mengurangi pengeluaran devisa untuk impor karung goni dari negara-negara produsen seperti negara Pakistan dan Bangladesh.
Kesuksesan pabrik karung goni Delanggu, menjadikannya sebagai produsen karung goni terbesar, tidak hanya di Hindia-Belanda saja, melainkan di kawasan Asia Tenggara.
Meski berada dalam gairah produksinya yang menguntungkan pemerintah kolonial, Pabrik Delanggu harus ditinggalkan. Kekalahan Belanda atas Jepang, membuat seluruh wilayah Hindia-Belanda jatuh ke tangan pemerintah Jepang.
"Akibatnya, pada awal tahun 1943, perusahaan pabrik karung goni Delanggu diambil alih oleh pemerintah Jepang dan diusahakan sebagai perseroan Nanio Kahatso," pungkas Riska Fitrianto.
Source | : | E-prints UNY |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR