Kesimpulannya tidak sepenuhnya benar. Unjuk rasa itu menghasilkan perubahan, hanya saja bukan perubahan yang membuat keadaan menjadi lebih baik. Pada Mei 2012, Kremlin bereaksi.
Sejak itu, puluhan orang pengunjuk rasa dikumpulkan, diadili, dan dipenjarakan. Situasi politik di negara itu semakin memburuk ketika Putin menjalankan pemerintahan otoriter. Secara terbuka dia mencap kaum liberal yang mendukung kebebasan dan demokrasi sebagai “pengkhianat bangsa” dan “kolom kelima”.
Reaksi keras itu sangat berbekas pada generasi Putin: Mereka sadar untuk tidak memasuki dunia politik. “Saya memiliki dua pilihan, melawan sistem ini,” kata Filipp, “atau menjalani kehidupan dalam sistem yang berbeda—dunia seni. Dunia ini banyak kelebihannya,” katanya. “Politik membuat kita stres. Kita terus-menerus merasa tidak gembira; kita tidak bisa menikmati hidup.”
Putin berniat untuk mengikuti pemilihan kembali pada 2018. Hanya ada sedikit keraguan bahwa dia akan mengikuti pemilu lagi dan bahkan tidak diragukan bahwa dia akan memenangi masa jabatan enam tahun lagi.
Artinya, Putin akan berkuasa sampai 2024, bahkan mungkin lebih lama lagi. Pada saat itu, Filipp, yang berusia lima tahun saat Putin pertama kali menjadi presiden, akan berusia 29. Apakah dia merasa nyaman dipimpin oleh Putin sampai saat itu? Dia mengangkat bahu. “Saya sudah terbiasa menjalani hidup saya dengan kehadirannya, dan ternyata keadaan saya baik-baik saja.”
Di Akademgorodok, sebuah kota kecil bercirikan pendidikan yang didominasi oleh Novosibirsk State University dan banyak laboratorium, saya bertemu dengan Alexandra Mikhaylova. Usianya 20.
Alexandra berasal dari keluarga ilmuwan—ibunya ahli geologi dan ayahnya ahli fisika—yang tertarik ke kota kecil ini, yang didirikan pada 1957 sebagai inkubator bagi ilmu pengetahuan dan motor bagi perlombaan teknologi antara Uni Soviet dan negara-negara Barat. Sejak Soviet lumpuh, para ilmuwan Rusia yang kekurangan dana memang ketinggalan jauh dari rekan mereka di Dunia Barat. Kedua orang tua Alexandra pun beralih menjadi pengusaha.
Kini, sebagai mahasiswa bidang jurnalisme, Alexandra tengah menggarap topik dokumenter tentang kota itu dan sejarahnya yang penuh semangat di bidang pendidikan, terutama gerakan bawah tanah pada 1960-an. “Mereka memiliki sistem pemerintahan sendiri hingga 1966,” kata Alexandra menjelaskan.
Baca Juga: Tak Hanya para Petani, Tentara Merah Rusia Juga Memakai Sepatu Lapti
Baca Juga: Ivan yang Mengerikan: Bagaimana Dia Bisa Menjadi Tsar Pertama Rusia?
Baca Juga: Pesan-pesan dari Budaya Kuno Tashtyk nan Misterius di Rusia Timur Jauh
Matanya berbinar saat bercerita tentang penelitiannya mendalami ruang kecil kebebasan dan gejolak intelektual dalam lautan pemerintah totaliter. Pada 1966, beberapa orang ilmuwan muda berjiwa bebas ini mengirim surat ke Moskow, mengeluhkan hal-hal yang tidak mereka sukai. Reaksi yang diterima, begitu Alexandra bercerita, sangat cepat. Banyak di antara mereka dipecat, dan diberlakukan pengawasan politik yang ketat. Namun, karya dokumenter Alexandra dimulai lagi pada 1980-an, dan gerakan bawah tanah bergaya punk rock menyebar ke seluruh negeri.
Dewasa ini, kata Alexandra, “semuanya stagnan. Ada sesuatu yang hilang. Orang tidak peduli pada dunia politik. Kalau sudah menyangkut soal pemerintah, kaum muda bersikap netral, atau cenderung positif. Tidak ada yang mau maju membela pendiriannya, dan hanya ada garis tipis yang membedakan sikap apatis dan sikap setuju.
Pemerintah kembali menerapkan sensor. Konser seorang rocker klasik dibatalkan di sini karena dia berbicara menentang penyerbuan ke Ukraina. “Tahun demi tahun ada saja media yang dibungkam pemerintah, media yang menampilkan berbagai hal secara lebih objektif,” kata Alexandra. Namun, yang paling membuatnya pilu adalah bahwa Akademgorodok tempatnya tinggal tidak memiliki semangat kreatif seniman tahun Enam Puluhan dan Delapan Puluhan. Masyarakat di sekelilingnya, tidak seperti yang dialami orang tuanya, bersikap hati-hati dan lesu. Dia merindukan perubahan, perombakan besar-besaran. Namun, dia menyadari bahwa bukan generasinya yang akan berhasil mewujudkannya.
“Yang akan mewujudkan perubahan adalah anak-anak yang sekarang berusia 13, 15 tahun,” kata Alexandra dengan pilu. Saat nanti mereka seusianya sekarang, generasinya sudah memiliki prioritas lain. “Kami akan berusaha membantu, tetapi saat kita sudah berusia 30, kita tidak akan sanggup memimpin revolusi sambil menggendong bayi.”
Kisah ini pernah terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2016.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR