Oleh Julia Ioffe
Foto oleh Gerd Ludwig
Dua puluh lima tahun setelah pecahnya Uni Soviet, banyak remaja Rusia mendambakan stabilitas zaman tersebut—dan melihat sosok pahlawan pada presiden mereka.
Nationalgeographic.co.id—Pemuda itu tidak tahu ke mana harus mengajak saya saat kami bertemu di hotel dekat stasiun kereta api. Jadi, kami berjalan menyusuri jalanan di Nizhniy Tagil, kota industri yang makin terpuruk di lereng timur Pegunungan Ural. Namanya Sasha Makarevich, tukang semen berusia 24 tahun.
Kami berjalan melewati gedung berlantai satu yang diselimuti gambar bintang merah Soviet dan pita St. George berwarna jingga dan hitam disemati medali militer kerajaan, Soviet, dan Rusia. “Kita dapat masuk ke sini,” kata Sasha sambil mengangkat bahu. “Tetapi, di dalam banyak orang yang mengalami dekade Sembilan Puluhan.”
Sasha juga mengalami dekade Sembilan Puluhan. Pada Desember 1991, hanya beberapa bulan sebelum dia lahir, bendera Soviet diturunkan di Kremlin dan bendera triwarna Rusia dinaikkan. Harapan bahwa rakyat Rusia akan mulai hidup seperti rakyat di negara-negara Barat yang sejahtera, membuka jalan menyambut realitas menyakitkan: Sungguh upaya yang sangat sulit untuk mengubah ekonomi terpimpin menjadi ekonomi pasar, menciptakan demokrasi di kalangan masyarakat yang berabad-abad hidup di bawah monarki absolut dan pemerintah yang totaliter.
Saya tidak pernah mengalami dekade Sembilan Puluhan itu. Keluarga saya meninggalkan Moskow pada April 1990. Saat untuk pertama kalinya saya kembali pada 2002, era Presiden Vladimir Putin, sang penyelamat gejolak dekade Sembilan Puluhan, Rusia sedang mengalami perubahan besar-besaran. Sejak itu, saya kembali ke Rusia berulang kali dan tinggal di negara itu selama beberapa tahun sebagai wartawan.
Sebagian besar orang Rusia yang saya kenal, sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pemerintahan Soviet yang berlangsung selama 74 tahun. Kami tahu pengalaman pribadi mendalam, tentang riwayat dan tragedi keluarga kami dalam skala kecil, jika dibandingkan dengan tragedi dan sejarah negeri itu dalam skala yang lebih besar. Namun, generasi yang saat ini sedang tumbuh hanya mengenal Rusia yang tertekan oleh sejarah dekade Sembilan Puluhan dan dipimpin dengan tangan besi oleh Putin. Tahun ini—25 tahun setelah runtuhnya Uni Soviet—saya kembali untuk menemui generasi muda seperti Sasha. Siapakah mereka? Apa yang mereka inginkan dari kehidupan mereka? Apa yang mereka inginkan untuk Rusia?
di nizhniy tagil, kata Sasha, “banyak sekali pabrik dan penjara.” Dulu, kota ini terkenal karena memproduksi gerbong kereta api dan tank Uni Soviet, sekarang terkenal karena pabrik yang tidak berproduksi lagi, pengangguran, dan Vladimir Putin. Ketika Putin mengumumkan, pada 2011, niatnya untuk kembali meneruskan masa jabatan presiden untuk ketiga kalinya, unjuk rasa terjadi di Moskow dan kota-kota besar lainnya. Para pengunjuk rasa sebagian besar berasal dari kalangan muda, berpendidikan, kelas menengah perkotaan.
Kini, Nizhniy Tagil memiliki wali kota baru, yang ditugasi Putin untuk mempercantik kota. Tetapi, kehidupan di situ masih tetap sulit. Sasha pernah mengikuti kursus mengelas dan bekerja di sebuah pabrik dengan penghasilan bagus sampai merosotnya harga minyak dan dijatuhkannya sanksi oleh negara-negara Barat karena Rusia menginvasi Ukraina; kedua hal itu menenggelamkan ekonomi Rusia. Sasha tidak lagi mendapatkan gaji. Selama satu tahun dia mencari pekerjaan dan akhirnya berhasil bekerja di pabrik Boeing yang jaraknya dua jam perjalanan dari rumahnya. Sekarang gajinya 30.000 rubel, atau sekitar 450 dolar per bulan—kira-kira sama dengan gaji rata-rata di situ.
Kota yang diceritakannya adalah tempat yang sangat bengis. “Penduduk kota sangat galak terhadap orang lain yang tidak seperti mereka,” katanya. Semua berpenampilan sama seperti kelas pekerja: berpakaian celana dan baju olahraga yang longgar, rambut cepak berponi tipis. Teman-temannya, kata Sasha, biasanya anak-anak mantan narapidana. “Mereka tidak menghormati hukum,” ujar Sasha. Dia belajar berkelahi, menggunakan tinju, dan pisau. Dia pernah pulang ke rumah setelah berkelahi dengan bersimbah darah lawannya, dan dia menceritakan semua ini, anehnya, dengan riang.
Hal yang benar-benar diinginkan Sasha adalah pindah ke kota kosmopolitan St. Petersburg dan membuka bar. Namun, pacarnya tidak mau ikut pindah kalau dia belum memiliki apartemen. Dengan gajinya dan gaji pacarnya yang tidak seberapa, impiannya akan tetap jadi impian belaka.
Sudah sangat lazim di Nizhniy Tagil: anak muda yang memimpikan impian anak muda, tidak bisa mewujudkannya dalam dunia nyata Rusia yang dipimpin Putin. Jadi, mereka mempersempit impian, dengan menginginkan hal-hal yang lebih terjangkau. Mereka ingin punya rumah atau apartemen, mobil, dan berkeluarga. Semua yang mereka dambakan itu juga sama dengan segala sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan dari mereka, semata-mata karena keluarga mereka mengalami dekade Sembilan Puluhan.
“Dekade Sembilan Puluhan sangat berat bagi kami dari segi keuangan,” kata Alexander Kuznetsov, pemuda usia 20 tahun dari Nizhniy Tagil. “Pada 1998, ayah saya meninggalkan keluarga.” Usia Alexander saat itu baru tiga tahun. “Seluruh gaji ibu saya hanya cukup untuk memberi saya makan. Bagi saya, yang paling penting adalah keluarga,” katanya. “Saya tidak menginginkan kedudukan tinggi dalam pekerjaan, tetapi lebih mendambakan memiliki keluarga yang hangat.”
Ayahnya terlibat dalam perang Chechnya pertama, pada 1994. “Jangan mau jadi tentara, Nak,” katanya menasihati Alexander. Namun, Alexander tidak berusaha menghindari wajib militer. “Sudah lama saya ingin menjadi tentara,” katanya menjelaskan. “Semua anggota keluarga saya jadi tentara. Lagi pula, jika kita pernah bertugas sebagai tentara, peluangnya lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan bagi pemuda di Rusia: bekerja di kepolisian atau di bidang keamanan negara (FSB), organisasi penerus KGB. Dinas ketentaraan memberinya peluang untuk menjadi polisi seperti ayahnya. “Saya benar-benar ingin punya penghasilan yang stabil,” kata Alexander.
Saat saya mengobrol dengan Alexander, temannya, Stepan, ikut bergabung. “Jadi,” katanya, “Anda sedang menulis artikel tentang kehidupan masa lalu di Uni Soviet? Kehidupan jauh lebih baik di masa itu.”
“Apa?” seru Alexander. “Hidup lebih baik?! Sama sekali tidak benar!”
Keduanya berdebat tentang kehidupan di masa Uni Soviet, sampai Stepan, yang lahir pada 1992, menyadari bahwa ada yang ingin ditanyakannya kepada saya: Kalian orang Amerika menyulitkan kami dengan menjatuhkan sanksi,” katanya. “Apa rencana kalian untuk kami? Perang?” Dia berpendapat bahwa Rusia sudah mengambil keputusan yang tepat untuk menduduki Crimea dan gigih menentang Dunia Barat.
Stepan enggan memberitahukan nama belakangnya sebab saya wartawan Amerika. Namun, saat saya berpamitan, dia menawarkan tumpangan. “Terus terang, saya ingin keluar dari sini,” katanya.
Dari mana, tanya saya. Dari Nizhniy Tagil?
“Bukan,” jawabnya. “Keluar dari Rusia.”
Setelah mendengar gertakan patriotiknya tadi, perkataannya sungguh tak terduga. Mengapa, tanya saya.
“Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini,” katanya tanpa terdengar getir. “Tak ada peluang, tak ada kesempatan tumbuh dan berkembang, dan membuat diri saya berguna.”
“mereka yang lahir di era Uni Soviet dan yang lahir setelah negara itu tercerai berai tidak memiliki pengalaman yang sama,” begitu yang ditulis Svetlana Alexievich, pemenang Hadiah Nobel untuk sastra pada 2015. “Mereka seperti berasal dari dua planet yang berbeda.”
Uni Soviet tenggelam dalam gelombang optimisme. Banyak yang percaya, Rusia akan cepat berkembang menjadi negara demokrasi gaya Barat. Namun, optimisme 1991 lenyap dalam satu dekade yang sarat dengan kontradiksi mencekam. Dengan berakhirnya ekonomi terpimpin, muncul kekayaan tak terhingga atau memasuki kelas menengah baru bagi sebagian orang, sementara sebagian lainnya terhempas ke jurang kemiskinan. Barang yang semula tak tersedia kini membanjiri deretan rak toko, sedangkan uang untuk membelinya berangsur kehilangan nilai. Dunia politik mulai terbuka bagi umum, namun banyak orang Rusia melihatnya sebagai bisnis kotor.
Rakyat Rusia berjuang untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang asing ini. Masa itu adalah masa kebebasan yang belum pernah dialami, tetapi banyak yang merasa bahwa kebebasan baru itu sangat membingungkan. “Ketika nilai-nilai (Barat) ini berhadapan dengan realitas dan orang menyadari bahwa perubahan itu berlangsung terlalu lambat, nilai-nilai ini pun surut kembali,” kata Natalia Zorkaya, sosiolog di Levada Center, sebuah organisasi jajak pendapat independen di Moskow. Sebaliknya, katanya, generasi muda mengadopsi “pilar-masyarakat Soviet.”
Sasha, Alexander, Stepan, dan teman-teman mereka, mengalami kehidupan di masa yang berbeda dengan yang dialami orang tua dan kakek-nenek mereka. Tetapi, dalam beberapa hal sikap mereka bahkan menjadi lebih Soviet. Perubahan yang aneh: Kaum muda ini tidak tahu banyak perihal hidup kekurangan, kebiasaan, dan kesengsaraan hidup di masa Uni Soviet. Generasi Putin tidak diajari tentang penderitaan hidup ini. Keinginan mereka mengenai kehidupan normal yang tenteram—keluarga yang utuh, pekerjaan yang dapat diandalkan, kalau bisa juga pekerjaan yang memuaskan—adalah reaksi mereka terhadap hal-hal yang tidak ada pada dekade Sembilan Puluhan dan mereka dapatkan di masa Putin.
Namun, mereka merasa sangat tidak aman. Enam puluh lima persen rakyat Rusia yang berusia antara 18 dan 24—generasi pertama yang lahir setelah pecahnya Soviet—merencanakan hidup tidak lebih dari satu atau dua tahun ke depan, menurut Levada Center. Mereka pasif dalam dunia politik: 83 persen mengatakan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan masyarakat politik ataupun sipil.
liza menemui saya di sebuah lobi putih yang gemerlap. Ia meminta saya tidak menggunakan nama belakangnya karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
Liza lahir di Blagoveshchensk, di Timur Jauh Rusia, pada 1992. Setahun sebelumnya, ayahnya, seorang guru sejarah, bergabung dengan kerumunan orang di jalanan Moskow, menyambut gembira kedatangan demokrasi. Namun, saat pulang ke rumah setelah kejatuhan Uni Soviet, dia terpaksa mencari cara untuk menafkahi keluarga. Dia pergi ke Tiongkok dan membawa pulang segala macam barang untuk dijual kembali di Rusia.
Liza bekerja sebagai ahli hukum perusahaan di sebuah firma hukum yang besar dari negara Barat. Pekerjaan yang bagus, tetapi bukan yang diinginkannya. “Selama ini saya ingin menjadi wartawan; saya suka menulis,” katanya. “Tetapi, orang tua saya mengatakan bahwa jurnalisme bukan pekerjaan serius. Jurnalisme itu profesi yang sarat suap-menyuap,”—sejarah tahun 1990-an, saat jurnalisme di sini diperjual-belikan seperti komoditas. Orang tuanya kemudian berpisah. Usaha ayahnya akhirnya tumbuh berkembang, dan Liza mendapat kesempatan sekolah setahun di SMA di Oregon, dan juga belajar di London.
Sebagai wanita yang dipengaruhi dunia Barat modern, Liza suka bercerita pada ibunya tentang pacar-pacarnya dan pesta narkoba. Namun, dalam beberapa hal, Liza amat sangat Rusia. “Putin membuat saya kesal,” katanya, terdengar seperti banyak orang di kalangan kaum berpendidikan yang tidak menyetujui pemerintahan Moskow. “Tetapi, awas saja kalau ada orang asing yang berani mengecamnya! Saya akan selalu membela Rusia.”
Pada 2011 Liza mulai tertarik pada politik liberal, yang sangat populer di Moskow. Dia bergabung dengan Amnesty International dan partai Yabloko liberal sebagai pengamat untuk pemilihan parlemen pada bulan Desember. Dia bertugas di TPS di sekolah adiknya dan terkejut ketika melihat para guru memasukkan banyak sekali kartu suara ke kotak suara. Ketika Liza berusaha menegur, mereka membentaknya dan menyuruhnya duduk di sudut ruangan sementara kepala sekolah menghalangi pandangannya. Ini terjadi di seluruh negeri. Banyak pengamat pemilu memotret kejadian itu dengan ponsel dan menayangkan bukti tersebut secara online, yang memicu gerakan protes massal di Moskow dan kota besar, yang sudah 20 tahun tidak pernah terjadi di Rusia.
Namun, Liza menjadi ketakutan dan kecil hati. “Saya histeris,” katanya. “Saya terus menangis selama dua jam.” Setelah kejadian itu, dia memutuskan, “Tidak ingin berpolitik lagi. Tidak akan pernah mau. Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan saya, dan saya tidak cukup kuat untuk melawannya.”
bagaimana ia menjadi seperti ini, menolak untuk berurusan dengan dunia politik? Vladimir Putin berperan penting dalam jawaban atas pertanyaan itu. Putin mulai berkuasa pada tahun 2000 sebagai kandidat anti dekade Sembilan Puluhan pada saat generasi ini mulai menyadari dunia di sekitar mereka. Putin berjanji menghadirkan kemakmuran dan keamanan. Berkat harga minyak yang meroket dan reformasi ekonomi yang diterapkan pada dekade Sembilan Puluhan, Putin mampu memenuhi banyak janji itu, tetapi dengan mengorbankan kebebasan demokratis.
Putin merujuk disintegrasi Uni Soviet sebagai “bencana geopolitik terbesar” abad ke-20. Siapa pun yang tidak merasa begitu, katanya, artinya tidak punya hati.” Joseph Stalin menjadi, menurut istilah kalangan bisnis saat itu, seorang ”manajer efektif“ yang kebablasan. Buku ajar dan acara televisi mencerminkan nostalgia baru itu, yang diamini oleh negara. Dewasa ini, 58 persen rakyat Rusia masih ingin melihat kembalinya pemerintahan masa Soviet, dan sekitar 40 persen lebih mendukung Stalin.
Kehidupan pasca-Soviet pada umumnya merupakan upaya pencarian sia-sia untuk mendapatkan gagasan pemersatu. Pada awalnya, gagasan itu demokrasi; kemudian, konsumerisme menjadi pengganti westernisasi. “Modernisasi datang melalui konsumsi, tetapi itu saja tidak cukup,” kata sosiolog Zorkaya.
Sejak awal masa jabatan ketiganya sebagai presiden, pada 2012, Putin mempromosikan ideologi neo-Soviet yang bahkan lebih agresif, baik di dalam maupun luar negeri. Dia berjuang untuk mempertahankan negara-negara republik Soviet masa lalu, seperti Ukraina dan Kazakhstan, dalam lingkaran pengaruh Moskow dan menjajaki kekuatan militer Rusia di Suriah. Serangkaian hukum mempromosikan nilai-nilai sosial tradisional sehingga perbedaan pendapat bahkan menjadi semakin berbahaya. Salah satu hasilnya adalah generasi yang impiannya adalah perwujudan dari segala sesuatu yang diinginkan Putin dari mereka: kaum yang patuh, materialistis, dan sangat tidak ingin menghadapi risiko.
Popularitas Putin mengundang banyak pertimbangan—saat saya menulis ini, Putin didukung 80 persen rakyat Rusia yang disurvei. Namun, dukungan lebih besar diberikan oleh rakyat Rusia berusia antara 18 dan 24: 88 persen. Mereka bangga akan negara mereka dan posisinya di dunia, mengaitkan kekuatan militer dengan kehebatan, dan percaya pada masa depan negaranya.
di halaman sempit nan gelap di Novosibirsk, antara dua bangunan bata abad ke-19, saya dapati para bohemian lokal sedang minum bir dan mendengarkan musik elektronik. Di sinilah Filipp Krikunov, yang lahir pada 1995, membuka sanggar seni. Para seniman muda dengan tergesa-gesa menciptakan cara berfoto yang lain daripada yang lain: Masukkan kepala ke dalam kotak kardus yang dipenuhi penggalan cermin yang berantakan. Masukkan kepala ke kardus lain dan ternyata di situ terdapat sisa-sisa makanan Burger King.
Saya sudah bertemu dengan Filipp hari itu di sebuah kafe Novosibirsk yang cantik, dikelilingi para wanita muda yang sangat modis. Novosibirsk adalah kota terbesar ketiga di Rusia, pusat industri dan inovasi ilmiah. Banyak hartawan tinggal di situ. Namun, Filipp tidak termasuk golongan hartawan. Dia dibesarkan tanpa ayah. Seperti banyak anak muda Rusia, dia dibesarkan oleh ibu dan neneknya. Kakek buyutnya ikut dalam Perang Dunia II dan kemudian disingkirkan oleh Stalin. Neneknya seorang ahli kimia terkenal, dan ibunya juga berkecimpung di dunia ilmiah. Namun, kedua wanita itu menyukai politik.
Filipp berusia 16 ketika unjuk rasa pro-demokrasi berlangsung di Moskow dan menyebar ke beberapa kota, termasuk Novosibirsk. Puluhan ribu orang turun ke jalan, menuntut pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi unjuk rasa itu lebih terasa seperti pesta di lingkungan perumahan, bukan demonstrasi.
Baca Juga: Menilik Kekayaan Tsar Rusia yang Masuk dalam Jajaran Manusia Terkaya
Baca Juga: Yekaterina, Ketangguhan Tsar Perempuan dalam Memodernisasi Rusia
Baca Juga: Konflik Rusia-Ukraina, Apakah Reaktor Nuklir Chernobyl Aman?
Filipp juga sudah muak dengan Putin. “Banyak pesan dikirim kepadanya, pesan ketidakpuasan, tetapi tidak kunjung ada dialog,” kata Filipp. Dia tidak mengenal Rusia yang ditampilkan di televisi yang dikendalikan Kremlin. “Seperti negara lain,” katanya. “Saya tak mengenal seorang pun seperti sosok yang ditampilkan di televisi.”
“Saya ikut dalam unjuk rasa. Saya berusaha untuk aktif di dunia politik,” kata Filipp. Namun, tidak lama kemudian, dia kecewa. “Saya melihat ke sekeliling saya, dan orang-orang yang berunjuk rasa itu tidak seperti teman-teman saya. Saya merasa tidak nyaman,” katanya. “Dan unjuk rasa itu tidak menghasilkan apa-apa.”
Kesimpulannya tidak sepenuhnya benar. Unjuk rasa itu menghasilkan perubahan, hanya saja bukan perubahan yang membuat keadaan menjadi lebih baik. Pada Mei 2012, Kremlin bereaksi.
Sejak itu, puluhan orang pengunjuk rasa dikumpulkan, diadili, dan dipenjarakan. Situasi politik di negara itu semakin memburuk ketika Putin menjalankan pemerintahan otoriter. Secara terbuka dia mencap kaum liberal yang mendukung kebebasan dan demokrasi sebagai “pengkhianat bangsa” dan “kolom kelima”.
Reaksi keras itu sangat berbekas pada generasi Putin: Mereka sadar untuk tidak memasuki dunia politik. “Saya memiliki dua pilihan, melawan sistem ini,” kata Filipp, “atau menjalani kehidupan dalam sistem yang berbeda—dunia seni. Dunia ini banyak kelebihannya,” katanya. “Politik membuat kita stres. Kita terus-menerus merasa tidak gembira; kita tidak bisa menikmati hidup.”
Putin berniat untuk mengikuti pemilihan kembali pada 2018. Hanya ada sedikit keraguan bahwa dia akan mengikuti pemilu lagi dan bahkan tidak diragukan bahwa dia akan memenangi masa jabatan enam tahun lagi.
Artinya, Putin akan berkuasa sampai 2024, bahkan mungkin lebih lama lagi. Pada saat itu, Filipp, yang berusia lima tahun saat Putin pertama kali menjadi presiden, akan berusia 29. Apakah dia merasa nyaman dipimpin oleh Putin sampai saat itu? Dia mengangkat bahu. “Saya sudah terbiasa menjalani hidup saya dengan kehadirannya, dan ternyata keadaan saya baik-baik saja.”
Di Akademgorodok, sebuah kota kecil bercirikan pendidikan yang didominasi oleh Novosibirsk State University dan banyak laboratorium, saya bertemu dengan Alexandra Mikhaylova. Usianya 20.
Alexandra berasal dari keluarga ilmuwan—ibunya ahli geologi dan ayahnya ahli fisika—yang tertarik ke kota kecil ini, yang didirikan pada 1957 sebagai inkubator bagi ilmu pengetahuan dan motor bagi perlombaan teknologi antara Uni Soviet dan negara-negara Barat. Sejak Soviet lumpuh, para ilmuwan Rusia yang kekurangan dana memang ketinggalan jauh dari rekan mereka di Dunia Barat. Kedua orang tua Alexandra pun beralih menjadi pengusaha.
Kini, sebagai mahasiswa bidang jurnalisme, Alexandra tengah menggarap topik dokumenter tentang kota itu dan sejarahnya yang penuh semangat di bidang pendidikan, terutama gerakan bawah tanah pada 1960-an. “Mereka memiliki sistem pemerintahan sendiri hingga 1966,” kata Alexandra menjelaskan.
Baca Juga: Tak Hanya para Petani, Tentara Merah Rusia Juga Memakai Sepatu Lapti
Baca Juga: Ivan yang Mengerikan: Bagaimana Dia Bisa Menjadi Tsar Pertama Rusia?
Baca Juga: Pesan-pesan dari Budaya Kuno Tashtyk nan Misterius di Rusia Timur Jauh
Matanya berbinar saat bercerita tentang penelitiannya mendalami ruang kecil kebebasan dan gejolak intelektual dalam lautan pemerintah totaliter. Pada 1966, beberapa orang ilmuwan muda berjiwa bebas ini mengirim surat ke Moskow, mengeluhkan hal-hal yang tidak mereka sukai. Reaksi yang diterima, begitu Alexandra bercerita, sangat cepat. Banyak di antara mereka dipecat, dan diberlakukan pengawasan politik yang ketat. Namun, karya dokumenter Alexandra dimulai lagi pada 1980-an, dan gerakan bawah tanah bergaya punk rock menyebar ke seluruh negeri.
Dewasa ini, kata Alexandra, “semuanya stagnan. Ada sesuatu yang hilang. Orang tidak peduli pada dunia politik. Kalau sudah menyangkut soal pemerintah, kaum muda bersikap netral, atau cenderung positif. Tidak ada yang mau maju membela pendiriannya, dan hanya ada garis tipis yang membedakan sikap apatis dan sikap setuju.
Pemerintah kembali menerapkan sensor. Konser seorang rocker klasik dibatalkan di sini karena dia berbicara menentang penyerbuan ke Ukraina. “Tahun demi tahun ada saja media yang dibungkam pemerintah, media yang menampilkan berbagai hal secara lebih objektif,” kata Alexandra. Namun, yang paling membuatnya pilu adalah bahwa Akademgorodok tempatnya tinggal tidak memiliki semangat kreatif seniman tahun Enam Puluhan dan Delapan Puluhan. Masyarakat di sekelilingnya, tidak seperti yang dialami orang tuanya, bersikap hati-hati dan lesu. Dia merindukan perubahan, perombakan besar-besaran. Namun, dia menyadari bahwa bukan generasinya yang akan berhasil mewujudkannya.
“Yang akan mewujudkan perubahan adalah anak-anak yang sekarang berusia 13, 15 tahun,” kata Alexandra dengan pilu. Saat nanti mereka seusianya sekarang, generasinya sudah memiliki prioritas lain. “Kami akan berusaha membantu, tetapi saat kita sudah berusia 30, kita tidak akan sanggup memimpin revolusi sambil menggendong bayi.”
Kisah ini pernah terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2016.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR