Tulang-tulang sklera adalah tulang-tulang kecil yang membentuk cincin di sekitar pupil dan iris di bagian luar mata. Hewan nokturnal membutuhkan mata dan pupil yang lebih besar untuk melihat dalam kondisi cahaya redup. Akan tetapi hewan diurnal memiliki mata dan pupil yang lebih kecil.
Dalam fosil Miosurnia diurna, bagian lunak mata telah membusuk sejak lama, membuat tulang-tulang sklera berbentuk trapesium kecil jatuh secara acak ke dalam rongga mata burung hantu. Untuk alasan ini, ahli paleontologi harus mengukur tulang kecil individu burung dan melakukan beberapa geometri dasar untuk membangun kembali ukuran dan bentuk cincin di sekitar mata.
Baca Juga: Yuanchuavis kompsosoura, Spesies Baru Burung Purba Pemilik Ekor Unik
Baca Juga: Burung Purba Mengganti Gigi Layaknya Buaya Modern yang Hidup Saat Ini
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Burung Beku Bertanduk Berusia 46.000 Tahun di Siberia
"Rasanya seperti bermain dengan balok Lego, hanya secara digital," kata Dr. Stidham yang turut terlibat dalam studi.
Dia menambahkan bahwa menyatukannya kembali dengan benar memungkinkan para ilmuwan untuk menentukan diameter keseluruhan cincin dan lubang cahaya di bagian tengah.
Tidak hanya itu para ilmuwan juga melakukan analisis statistik yang lebih besar. Dikenal sebagai rekonstruksi keadaan leluhur, menggunakan data perilaku dari lebih dari 360 spesies di seluruh keragaman burung.
Para peneliti menggunakan silsilah keluarga burung untuk merekonstruksi kebiasaan nenek moyang burung. Termasuk di dalamnya burung hantu, untuk menentukan mana yang cenderung nokturnal atau diurnal. Hasil menunjukkan bahwa nenek moyang semua burung hantu yang hidup hampir pasti nokturnal. Namun, nenek moyang kelompok Surniini malah diurnal.
Ketika para ilmuwan menambahkan fosil Miosurnia diurna ke dalam analisis, kemungkinan nenek moyang Surniini itu diurnal meningkat menjadi 100 persen. Kedua garis bukti dari perilaku dan mata itu sendiri menunjukkan evolusi perilaku diurnal dalam kelompok burung hantu ini.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Source | : | Popular Science,Phys.org |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR