Nationalgeographic.co.id - Burung hantu dikenal sebagai hewan nokturnal. Dari ratusan spesiesnya yang hidup saat ini, sebagian besar aktif pada malam hari. Ya, tidak semuanya nokturnal, beberapa spesies merupakan hewan diurnal.
Kebalikan dari nokturnal, hewan diurnal aktif pada siang hari. Dilansir dari Popular Science, ini dapat ditentukan oleh habitat serta makanan spesies itu.
Misalnya, burung hantu salju yang menghabiskan musim panas mereka di Kutub Utara. Mereka memakan lemming, hewan pengerat yang lebih mudah ditangkap di wilayah tundra saat sedang terang.
Sebuah studi telah dipublikasikan di jurnal PNAS dengan judul "Early evolution of diurnal habits in owls (Aves, Strigiformes) documented by a new and exquisitely preserved Miocene owl fossil from China" pada 28 Maret 2022. Dalam studi ini, para ahli meneliti kerangka hewan purba dari Formasi Ma Liushu di Tiongkok bagian utara.
Kerangka hewan purba itu berukuran sekitar 30 sentimeter dari kepala hingga kaki. Miosurnia diurna diperkirakan berusia 6 hingga 10 juta tahun. Hewan ini memiliki hubungan dengan spesies diurnal modern seperti burung hantu penggali dan burung hantu elang utara.
Ahli paleontologi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Cina menganalisis ukuran dan bentuk mata, tengkorak, dan tulang kaki bagian bawah Miosurnia diurnal. Kemudian mereka membandingkannya dengan pengukuran dari kerabat modern.
Para penulis menemukan bahwa ciri-ciri morfologi fosil cocok dengan spesies pemburu siang hari dari kelompok Surniini, yang mencakup beberapa burung hantu Amerika Utara, termasuk burung hantu bertelinga pendek, dan burung hantu kerdil besi. Mereka juga membedah pelet makanan yang tidak tercerna di perut spesimen dan menemukan tulang mamalia kecil seperti yang diekstraksi dari alap-alap dari periode waktu yang sama.
Kedua burung itu mungkin hidup berdampingan di sabana yang kering dan tinggi di sepanjang Dataran Tinggi Tibet. Para peneliti menungkapkan kemungkinan hewan-hewan ini menggunakan strategi mencari makan yang berbeda.
Berbeda dengan burung hantu purba lainnya, yang indra penglihatan, suara, dan bahkan penciumannya cocok dengan kegelapan, Miosurnia diurna tampak lebih cocok untuk siang hari. Memiliki mata besar dan telinga yang tidak terlalu berbentuk tabung cocok dengan ciri-ciri burung hantu padang rumput saat ini.
Melansir dari Phys, Dr. Li salah satu ahli yang terlibat dalam penelitian ini mengungkapkan fakta yang menarik.
"Dari tulang mata di tengkorak fosil ini (Miosurnia diurna) memungkinkan kita melihat bahwa burung hantu ini lebih menyukai siang dan bukan malam," kata Dr. Li.
Tulang-tulang sklera adalah tulang-tulang kecil yang membentuk cincin di sekitar pupil dan iris di bagian luar mata. Hewan nokturnal membutuhkan mata dan pupil yang lebih besar untuk melihat dalam kondisi cahaya redup. Akan tetapi hewan diurnal memiliki mata dan pupil yang lebih kecil.
Dalam fosil Miosurnia diurna, bagian lunak mata telah membusuk sejak lama, membuat tulang-tulang sklera berbentuk trapesium kecil jatuh secara acak ke dalam rongga mata burung hantu. Untuk alasan ini, ahli paleontologi harus mengukur tulang kecil individu burung dan melakukan beberapa geometri dasar untuk membangun kembali ukuran dan bentuk cincin di sekitar mata.
Baca Juga: Yuanchuavis kompsosoura, Spesies Baru Burung Purba Pemilik Ekor Unik
Baca Juga: Burung Purba Mengganti Gigi Layaknya Buaya Modern yang Hidup Saat Ini
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Burung Beku Bertanduk Berusia 46.000 Tahun di Siberia
"Rasanya seperti bermain dengan balok Lego, hanya secara digital," kata Dr. Stidham yang turut terlibat dalam studi.
Dia menambahkan bahwa menyatukannya kembali dengan benar memungkinkan para ilmuwan untuk menentukan diameter keseluruhan cincin dan lubang cahaya di bagian tengah.
Tidak hanya itu para ilmuwan juga melakukan analisis statistik yang lebih besar. Dikenal sebagai rekonstruksi keadaan leluhur, menggunakan data perilaku dari lebih dari 360 spesies di seluruh keragaman burung.
Para peneliti menggunakan silsilah keluarga burung untuk merekonstruksi kebiasaan nenek moyang burung. Termasuk di dalamnya burung hantu, untuk menentukan mana yang cenderung nokturnal atau diurnal. Hasil menunjukkan bahwa nenek moyang semua burung hantu yang hidup hampir pasti nokturnal. Namun, nenek moyang kelompok Surniini malah diurnal.
Ketika para ilmuwan menambahkan fosil Miosurnia diurna ke dalam analisis, kemungkinan nenek moyang Surniini itu diurnal meningkat menjadi 100 persen. Kedua garis bukti dari perilaku dan mata itu sendiri menunjukkan evolusi perilaku diurnal dalam kelompok burung hantu ini.
Source | : | Popular Science,Phys.org |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR