Saya menjumpai Raden Gedarip, salah satu tokoh warga adat Bayan. Dia mengatakan, setiap Lebaran Idulfitri, masyarakat adat Bayan juga melaksanakan salat Id di masjid umum. Namun, demi alasan pelestarian adat, mereka merayakan lebaran adat. Mereka menolak pencampuradukan agama dengan adat, demikian tuturnya.
“Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu Bayan” kata Raden Gedarip kepada saya. Kesalahan utama pemahaman orang luar adalah anggapan bahwa penghayat Wetu Telu hanya menunaikan salat tiga waktu dalam sehari. “Banyak orang mengartikan wetu sebagai waktu, padahal bukan itu, itu anggapan yang salah” lanjutnya. “Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini pedoman hidup, bukan agama. Agama kami ya Islam, kami Muslim, salat kami lima waktu,” tambahnya menegaskan.
Selama ini, penilaian keliru tentang Wetu Telu membuat stigma penggabungan adat dan agama, yang merugikan komunitas ini. Bukan lantaran tak paham ajaran Islam, melainkan kepercayaan terhadap hal eksoterislah pendorongnya. Di saat agama dirasa kaku—karena batasan halal dan haram—maka adatlah solusinya.
Saya memang ingin berlebaran bersama mereka, merayakan Idulfitri dengan konsep menyepi. Dan, saya justru merasakan fitrahnya Idulfitri saat berlebaran adat bersama warga Bayan. Saat itu juga kata-kata Gus Dur mengitari kepala saya.
“Islam datang bukan untuk mengubah budaya kita menjadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita. Kita harus serap ajarannya, bukan budayanya.”
—Syafiudin Vifick adalah fotografer asal Malang yang berdomisili di Denpasar, Bali. Ia mendirikan komunitas fotografi lubang jarum Semut Ireng dan kelas fotografi #SayaBercerita.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR