Nationalgeographic.co.id—Di antara para Dewa Olimpus, Apollo adalah sosok yang paling kompleks dalam semua aspeknya.
Dalam mitologi Yunani, Apollo diakui sebagai dewa musik dan tarian, kebenaran dan ramalan, seni, penyembuhan dan penyakit, matahari dan cahaya, pengetahuan, puisi, dan panahan.
Populer di antara para dewa, Apollo juga dicintai oleh orang Yunani kuno. Meski sangat sempurna dengan segala kelebihan, bahkan dewa seperti Apollo juga bisa iri akan kemampuan orang lain.
Meski terkenal dalam seni musik, bukan berarti ia tidak memiliki saingan yang menganggap dirinya setara dalam hal ini. “Ada beberapa individu yang menantangnya untuk bersaing dalam kompetisi musik,” tutur A. Sutherland dilansir dari laman Ancient Pages.
Salah satunya adalah Marsias dan yang lainnya adalah Pan. Marsyas adalah seorang satir, makhluk penghuni hutan dan pegunungan. Ia yang telah mengambil seruling, yang dibuang dewi Athena dengan jijik. Setelah disentuh oleh bibir sang dewi, ia menemukan bahwa seruling mengeluarkan suara menawan dengan sendirinya.
Marias adalah pecinta musik yang hebat. Dan dalam hal ini, ia sangat dicintai oleh semua makhluk mirip peri yang tinggal di lembah dan hutan. “Dia begitu mabuk dengan suara seruling dan penemuannya sehingga dia tanpa berpikir menantang Apollo,” ungkap Sutherland. Apollo ditantangnya bersaing dalam sebuah kompetisi musik.
Tantangan itu diterima, dan Musai dipilih sebagai wasit. Diputuskan juga bahwa pesaing yang gagal harus menderita hukuman kejam dikuliti hidup-hidup.
Untuk waktu yang lama, kedudukan keduanya seimbang sehingga tidak bisa ditentukan pemenangnya.
Akhirnya, Apollo memutuskan untuk menaklukkan Marsias dengan menambahkan nada manis dari suaranya yang merdu ke alunan kecapi magisnya.
Berkat itu, ia berhasil memenangkan kompetisi. Namun muncul pertanyaan. Apakah ia mampu memenangkan kompetisi tanpa menggunakan suaranya yang luar biasa itu?
Marsias sangat sedih akan kekalahannya itu. Dia tiba-tiba menyadari bahwa ia harus menjalani hukuman mati yang mengerikan dalam siksaan. Apollo melakukan hukuman yang paling kejam pada Marsias. Dewa itu mengulitinya hidup-hidup dan memaku kulitnya ke pohon pinus.
Sebuah legenda mengatakan bahwa banyak sahabat Marsias menangis, termasuk para satir dan driad. Tidak senang dengan nasib buruknya, mereka mengumpulkan semua air mata dan menciptakan sebuah sungai di Frigia. Sampai sekarang sungai itu masih dikenal dengan nama Marsias.
Pan, dewa gembala, menyatakan bahwa dia bisa memainkan seruling tujuh buluhnya dengan lebih terampil daripada dewa Apollo dengan kecapinya. Pan berhasil selamat tanpa cedera.
Lalu muncul pesaing ketiga untuk keterampilan musik Apollo yang luar biasa. Ia adalah Cinyras, raja Siprus dan pemain suling yang hebat.
Tradisi mengatakan bahwa Cinyras dipuja sebagai pencipta seni dan alat musik, terutama seruling. Dalam satu sumber, ia juga disebut-sebut karena keelokan fisiknya. Seorang penyanyi yang luar biasa, ia juga menantang dan ingin menguji kemampuan Apollo.
“Sayangnya, nasib baik tidak berpihak padanya,” Sutherland menambahkan. Hidupnya berakhir secara dramatis ketika dewa Mars merenggut nyawa Cinyras.
Kompetisi yang menarik ini berlanjut, dan ketika selesai, Apollo dinyatakan sebagai pemenang oleh semua juri yang terlibat.
Baca Juga: Hukum Bengis Draconian Yunani Kuno yang Diukir dalam Darah Manusia
Baca Juga: Awal Konflik Besar Yunani-Persia: Pertempuran Maraton yang Legendaris
Baca Juga: Mengapa Penis Sering Muncul dalam Seni Yunani Kuno dan Romawi Kuno?
Baca Juga: Mengapa Patung Pria Yunani Kuno Selalu Telanjang? Ini Alasannya!
Namun, Midas, raja Frigia, tidak setuju dengan keputusan hakim. Dialah satu-satunya juri yang menilai Marsias adalah pemain yang lebih baik.
Mungkin dia memiliki selera yang buruk. Alih-alih melodi kecapi Apollo yang sempurna, ia memilih nada yang agak vulgar dan primitif dari pipa Pan. Midas, satu-satunya juri dalam kompetisi tersebut, dihukum karena sikapnya yang paling tidak biasa terhadap musik Apollo. Menilainya sebagai orang bodoh yang tidak memiliki telinga manusia untuk musik, Apollo memberinya telinga keledai.
Ngeri karena tindakan Apollo, raja Frigia itu menyamarkan penampilan dan aibnya. Ia menggunakan topi Frigia, sorban, atau hiasan kepala lainnya. Bahkan tukang cukur pribadi harus dapat menyimpan rahasia yang sangat menyakitkan ini selamanya.
Agar rahasia aman, tukang cukur itu pun disuap dengan hadiah yang sangat berharga, untuk mencegahnya mengungkapkan rahasia raja. Namun ia tidak tahan untuk mengungkapkannya. Si tukang cukur pun pergi ke padang rumput, menggali lubang di tanah, membisikkan cerita ke dalamnya:
“‘Raja Midas memiliki telinga keledai!’ Kemudian dia mengisi lubang itu, dan pergi, berdamai dengan dirinya sendiri. Namun sebatang buluh tumbuh dari tepi sungai, membisikkan rahasianya kepada semua orang yang lewat.
Ketika Midas mengetahui bahwa aibnya telah menjadi pengetahuan umum, dia mengutuk tukang cukur itu sampai mati. Karena malu, Midas pun bunuh diri meminum darah banteng dan binasa dengan menyedihkan. Maka berakhirlah nasib semua penantang Apollo.
Source | : | Ancient Pages |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR