Nationalgeographic.co.id - Di dunia ini semua serba tersambung. Namun pernahkah Anda membayangkan untuk terisolasi lebih dari sepekan lamanya dari dunia luar? 15 orang ini melakukannya demi eksperimen ilmiah tentang dampak isolasi total di dalam gua terhadap perubahan waktu tahun 2021 silam.
15 orang itu berusia antara 27 hingga 50 tahun, termasuk tujuh wanita dan delapan pria. Mereka dipilih untuk proyek Deep Time, dan setiap orang diberi tugas selama 40 hari 40 malam tinggal di dalam gua, yang dimulai pada 14 Maret 2021.
"Rasanya seperti menekan jeda," kata Marina Lançon, salah satu anggota dalam eksperimen tersebut, dikutip dari AP. Dia merasa tidak terburu-buru, bahkan berharap bisa tinggal lebih lama.
Kondisi di dalam tidak ada sinar matahari, suhunya mencapai 10 derajat Celsius, dan kelembabannya relatif mencapai 100 persen. Para peserta itu tidak boleh berkontak dengan dunia luar, mengetahui kabar baru tentang pandemi, bahkan berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk keluarga.
Beberapa sukarelawan memiliki pengalaman profesional yang relevan untuk ekspedisi gua. Mereka yang dipilih adalah yang sesuai dengan kriteria tertentu, seperti analis intelijen bisnis, ahli permata, spesialis urusan masyarakat untuk perusahaan industri dan pertahanan.
Mereka dipilih untuk menghasilkan "kelompok yang bervariasi" yang sesuai dengan "kehidupan sehari-hari."
Proyek Deep Time ini dilakukan oleh para ilmuwan di Human Adaptation Institute, lembaga swadaya berbasis di Prancis. Eksperimen itu berguna untuk memahami bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan perubahan kondisi kehidupan dan lingkungan drastis.
Meski eksperimen memutuskan hubungan dengan dunia luar, pola tidur dan perilaku sosial mereka dipantau oleh tim peneliti lewat sensor. Para peserta bahkan menelan termometer kecil di dalam kapsul yang mentrasmisikan suhu tubuh di dalam sistem pencernaan sampai dikeluarkan kemudian.
Mereka keluar pada Sabtu 24 April 2021. Mereka mendapatkan tes medis kurang dari 24 jam untuk diamati lewat MRI di Paris. Para peneliti menyimpulkan, banyak peserta berbagi pemikiran awal mereka tentang waktu yang mereka habiskan di dalam gua.
Untuk mengetahui jam berapa, hari apa, siang atau malam, para peserta itu mengikuti jam biologis mereka. Sehingga, mereka menghitung hari-hari bukan berdasarkan jam atau tanggal, melainkan siklus tidurnya.
"Dan di sinilah kita! Kami baru saja pergi setelah 40 hari ... Bagi kami itu benar-benar kejutan," kata direktur proyek Christian Clot, menambahkan untuk sebagian besar peserta, "di kepala kami, kami telah berjalan ke gua 30 hari yang lalu."
Bahkan, salah satu orang memperkirakan waktu yang dihabiskan di dalam gua hanya 23 hari. Orang itu adalah guru matematika bernama Johan Francois yang berusia 37 tahun. Saat di dalam gua, ia berlari berputar setara dengan 10 kilometer agar tetap bugar, dan terkadang punya "dorongan mendalam" untuk pergi.
Baca Juga: Orang Pertama yang Menerima Transplantasi Jantung Babi Telah Meninggal
Baca Juga: Kisah Isolasi Michel Siffre: Waktu Biologis Kita Tidak Bisa Diandalkan
Baca Juga: Menantang Teori Terbesar Einstein dengan Bintang Ekstrem, Hasilnya?
Ketika tidak punya kewajiban yang harus dilaksanakan dan sendirian, tantangan yang dihadapi adalah "menghadapi keuntungan dari saat ini tanpa pernah memikirkan apa yang akan terjadi dalam satu-dua jam," katanya.
15 orang ini bukanlah yang pertama mengisolasi diri di dalam gua. Sebelumnya ada Michel Siffre, seorang ahli geologi yang melakukannya pada tahun 1962, 1972, dan 1999-2000. Siffre "muncul sebagai pelopor kronobiologi manusia tanpa disadari," kata Alan Burdick, penulis Why Time Flies: A Most Scientific Investigation.
Hasilnya juga serupa: Siffre tidak bisa menentukan berapa hari yang telah berlalu sampai akhirnya keluar. Uniknya, dia merayakan tahun baru 2000 saat dunia di luar sudah tanggal 4 Januari. Sayangnya percobaan terakhirnya itu membuatnya juling permanen.
"Sangat menarik untuk mengamati bagaimana kelompok ini menyinkronkan diri mereka sendiri," kata Clot. "Masa depan kita sebagai manusia di planet ini akan berkembang. Kita harus belajar untuk lebih memahami bagaimana otak kita mampu menemukan solusi baru, apa pun situasinya."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR