Nationalgeographic.co.id—Surjomiharjo pernah menulis dalam bukunya berjudul Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa (1986), yang menyebut perlunya membangun suasana pendidikan yang bersifat kekeluargaan melalui sistem pondok Indonesia.
Sistem pondok akan menempatkan para murid laki-laki dengan guru laki-laki dan murid perempuan dengan guru perempuan. Sejatinya, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara telah melakukannya.
Ki Hajar Dewantara memilihkan para guru yang telah berkeluarga. Hal itu berguna untuk "memelihara suasana kekeluargaan," tulis Siti Fatimah dalam skripsinya kepada Universitas Sebelas Maret Surakarta berjudul Perjuangan Taman Siswa Yogyakarta Melawan Onderwijs-Ordonantie Tahun 1922-1933 yang terbit pada tahun 2013.
Sebagaimana dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara, sistem pondok sudah berlangsung sejak awal didirikannya Taman Siswa. Asrama laki-laki disebut dengan Wisma Pria dan asrama perempuan disebut dengan Wisma Rini.
Menurut Siti Fatimah, gagasannya lahir dari pemikiran Ki Hajar tentang tri pusat pengajaran: "alam keluarga, alam perguruan pusat, dan alam pemuda."
Alam keluarga tumbuh dari lingkungan keluarga sebagai peletak fondasi bagi pendidikan budi pekerti dan perilaku sosial. Alam perguruan pusat, bertujuan memberi kecerdasan kepada peserta didik, dan alam pemuda, berupaya membentuk pemuda yang cerdas dan berbudi.
Dari tiga pusat pengajaran inilah lahir gagasan untuk mengadakan pendidikan dengan sistem pondok.
Awalnya, sistem pondok ditujukan untuk memberikan pemahaman lebih tentang hasil belajar siswa di sekolah. "Sistem yang mempermudah siswa untuk bertanya pelajaran kepada guru jika ada materi yang belum dimengerti," tambahnya.
Sistem ini memperkenalkan sosok Ki Hajar sebagai kiai atau guru yang menjaga sekaligus mengajar di asrama. Begitu juga para siswa di pondok dikenal dengan sebutan cantrik (santri).
Melalui sistem pondok, interaksi antara guru dan murid diselenggarakan setiap hari, di setiap malam. Mereka berkumpul menjadi satu, setiap pengajarannya berisi tentang materi pendidikan.
Pendidikan Taman Siswa yang menyelenggarakan sistem pondok, mengedepankan azas kemerdekaan diri bagi para siswa. Meski terdapat sejumlah aturan yang berlaku, kehidupan mandiri di pondok membawa mereka kepada kemerdekaan diri.
Mereka punya banyak pilihan dengan tiada ada keterlibatan orang tua dalam pengambilan keputusan. Baik hal yang sepele maupun yang besar sekalipun.
Baca Juga: Seberapa Banyak Jalan Ki Hajar Dewantara di Indonesia?
Baca Juga: Tiga Ajaran Penting dari Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Indonesia
Baca Juga: Sistem Among ala Taman Siswa Jadi Identitas Pendidikan Pribumi
Baca Juga: Menyelisik Pendidikan Perempuan di Taman Siswa Awal Abad ke-20
Meskipun begitu, para siswa juga memiliki para kiai pendamping di asrama masing-masing yang memberikan arahan. Melalui norma dan nilai, para kiai mengajarkan budi pekerti kepada siswa.
Pendidikan yang terselenggara dengan baik mengundang respons yang baik juga dari para orang tua siswa. Tahun demi tahun, Taman Siswa ramai didatangi para cantrik yang ingin merengkuh pendidikan mereka di sana.
"Banyaknya permintaan orang tua untuk menyekolahkan anaknya kepada Taman Siswa, mendorong berkembang pesatnya sistem pondok yang ada," pungkasnya. Tidak hanya mendapat hunian, mereka mendapat pengajaran lebih dari para gurunya.
Melalui semangat kekeluargaan yang lahir dari sistem pondok, keterikatan antara guru dengan siswa maupun siswa kepada siswa, menguatkan fondasi Taman Siswa sebagai sekolah pribumi paling sohor di zamannya.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Digital Library Universitas Sebelas Maret Surakarta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR