Nationalgeographic.co.id—Pada awal abad ke-20, sebagian besar wanita di Amerika Serikat tidak bekerja di luar rumah, dan mereka yang melakukannya terutama masih muda dan belum menikah.
"Pada masa itu, hanya 20 persen dari seluruh perempuan yang menjadi wanita karir," tulis Janet L Yellen kepada Brookings Education dalam artikel berjudul "The history of women’s work and wages and how it has created success for us all" terbit pada 2020.
Yellen melanjutkan, "biro Sensus kemudian mengategorikan partisipasi angkatan kerja di luar rumah, dan hanya 5 persen dari mereka yang menikah yang dikategorikan demikian."
Terlepas dari sentimen yang meluas terhadap wanita, khususnya wanita yang sudah menikah, bekerja di luar rumah masih menjadi hal yang tabu sebelum memasuki tahun 1930.
Selama beberapa dekade dari tahun 1930 hingga 1970, peluang kerja yang meningkat juga muncul bagi wanita berpendidikan tinggi.
pada awal periode itu, sebagian besar wanita masih diharapkan memiliki karir pendek, dan wanita sebagian besar masih dipandang sebagai pencari nafkah sekunder yang karir suaminya diprioritaskan.
Seiring berjalannya waktu, sikap tentang wanita yang bekerja dan prospek pekerjaan mereka berubah. Ketika wanita memperoleh pengalaman dalam angkatan kerja, wanita dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga.
Sebuah model baru dari keluarga dengan wanita berpenghasilan muncul. Beberapa wanita mulai berpendidikan tinggi (kuliah) dan lulus dengan harapan untuk bekerja, terlepas dari apakah mereka berencana untuk menikah dan memiliki keluarga atau tidak.
Pada 1970-an, perubahan dramatis dalam kehidupan kerja perempuan sedang berlangsung. Pada periode setelah Perang Dunia II, banyak wanita tidak menyangka bahwa mereka akan menghabiskan banyak waktu dewasa mereka untuk bekerja seperti yang terjadi.
Sebaliknya, pada tahun 1970-an wanita muda lebih sering mengharapkan bahwa mereka akan menghabiskan sebagian besar hidup mereka di angkatan kerja, dan mereka mempersiapkannya.
"Para wanita meningkatkan pencapaian pendidikan atau mengambil kursus dan jurusan di perguruan tinggi yang lebih membekali mereka untuk menunjang karir mereka," imbuh Yellen.
Baca Juga: Perempuan Berisiko Terjebak di Kendaraan Usai Kecelakaan, Kenapa?
Baca Juga: Kilas Sejarah Perjuangan Perempuan dalam Merayakan Hari Ibu Bangsa
Baca Juga: Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?
Perubahan sikap dan harapan ini didukung oleh perubahan lain yang sedang berlangsung di masyarakat. Perlindungan tempat kerja ditingkatkan melalui pengesahan Undang-Undang Diskriminasi Kehamilan pada tahun 1978 dan pengakuan pelecehan seksual di tempat kerja.
Setelah meningkatnya pola wanita karir, sebuah model "keluarga bencana" mulai diusung. Alat kontrasepsi semakin masif digunakan untuk membatasi jumlah anak dengan kemampuan wanita membagi karir dan keluarganya.
Pada awal 1990-an, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita usia kerja utama—mereka yang berusia antara 25 dan 54 tahun—mencapai lebih dari 74 persen.
Pada saat itu, jumlah wanita yang terjun ke bidang tradisional seperti pengajaran, keperawatan, pekerjaan sosial, dan pekerjaan administrasi menurun, dan lebih banyak wanita menjadi dokter, pengacara, manajer, dan profesor.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa meskipun para wanita sekarang memasuki sekolah profesional dalam jumlah yang hampir sama dengan laki-laki, mereka masih jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mencapai eselon tertinggi dari profesi mereka.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada kegagalan para wanita yang sangat terampil ini untuk mencapai puncak profesi mereka dan mendapatkan upah yang setara adalah bahwa pekerjaan teratas di bidang-bidang seperti hukum dan bisnis membutuhkan minggu kerja yang lebih lama dan menghukum yang mengambil cuti.
Source | : | Brookings |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR