Nationalgeographic.co.id—Lebih dari tiga miliar orang di seluruh dunia bergantung pada ikan untuk makanan mereka. Ikan adalah sumber protein dan lemak sehat yang disukai dalam diet yang sangat direkomendasikan, seperti diet Mediterania dan Nordik.
Namun hasil sebuah studi baru menunjukkan bahwa seperti halnya semua hal, terlalu banyak ikan yang baik juga bisa menjadi hal yang buruk. Sebuah studi besar jangka panjang terhadap hampir 500.000 orang yang telah terbit di jurnal Cancer Causes & Control ini menemukan bahwa orang-orang yang makan lebih banyak ikan daripada setengah kaleng tuna sehari, 22 persen lebih mungkin untuk terkena melanoma ganas.
"Melanoma adalah kanker paling umum kelima di [Amerika Serikat] dan risiko terjangkit melanoma seumur hidup (di sana) adalah satu dari 38 untuk orang kulit putih, satu dari 1.000 untuk orang kulit hitam, dan satu dari 167 untuk orang Hispanik," jelas Eunyoung Cho, dokter kulit dari Brown University, seperti dilansir Science Alert.
Penting untuk dicatat bahwa ini sama sekali tidak berarti kita harus menghindari makan ikan. Studi ini menunjukkan tren, bukan penyebab mendasar, kanker kulit. Itu berarti para peneliti tidak secara langsung menunjukkan bahwa makan lebih banyak ikan meningkatkan risiko kanker kulit. Selain itu, bahkan jikapun memang terbukti ada hubungan langsung, manfaat makan ikan kemungkinan masih lebih besar daripada menghindari memakannya secara total.
Meski demikian, studi ini menemukan hubungan yang kuat dalam ukuran sampel yang besar. Jadi, penelitian lebih lanjut tampaknya diperlukan untuk memastikan hubungan sebab akibat dari dua hal ini.
"Meskipun hasilnya dari studi kohort, yang berarti mereka observasional dan karenanya tidak menyiratkan sebab-akibat, mereka tidak dapat diabaikan," kata Clare Collins, ahli diet dari University of Newcastle yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Peran kontaminan yang mungkin ada pada beberapa ikan perlu dipertimbangkan."
Sudah diketahui bahwa racun di lingkungan kita, termasuk yang kita ketahui secara langsung menyebabkan kanker seperti logam berat, menumpuk melalui rantai makanan. Misalnya, merkuri yang dibuang melalui proses industri seperti pembakaran batu bara menemukan jalannya ke saluran air kita di mana mikroba memecahnya menjadi metilmerkuri.
Metilmerkuri kemudian diambil oleh plankton dan akhirnya terakumulasi dalam jaringan udang yang memakan plankton tersebut, kemudian ikan yang memakan udang, dan seterusnya. Semakin terkonsentrasi, semakin tinggi rantai makanannya. Ini dikenal sebagai biomagnifikasi.
"Kami berspekulasi bahwa temuan kami mungkin dapat dikaitkan dengan kontaminan pada ikan, seperti bifenil poliklorin, dioksin, arsenik, dan merkuri," kata Cho.
"Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa asupan ikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat kontaminan yang lebih tinggi di dalam tubuh dan telah mengidentifikasi hubungan antara kontaminan ini dan risiko kanker kulit yang lebih tinggi."
Baca Juga: Begini Cara Membedakan Tahi Lalat Normal Dengan yang Tanda Kanker
Baca Juga: Perebutan Makanan Juga Bisa Menimbulkan 'Kanibalisme' pada Ikan
Baca Juga: Lapisan Es Greenland Melepaskan Merkuri Berkadar Tinggi ke Sungai
Para peneliti, yang dipimpin oleh Yufei Li selaku ahli epidemiologi dari Brown University, menggunakan data dari NIH-AARP Diet and Health Study di Amerika Serikat, dari peserta yang direkrut antara 1995 dan 1996. Mereka menyusun ini dengan National Death Index dan menyoroti bahwa risiko melanoma ditemukan 22 persen lebih tinggi pada mereka yang makan sekitar 43 gram ikan sehari dibandingkan dengan mereka yang makan dalam jumlah rata-rata, yakni sekitar 3 gram per hari.
Asupan ikan hanya dihitung pada awal penelitian. Jadi jumlah konsumsi ikan para peserta mungkin telah berubah selama masa hidup mereka.
Yang menarik, hubungan antara makan ikan dan kanker kulit ini linier. Itu artinya semakin banyak jumlah tuna yang dikonsumsi, semakin tinggi kejadian kanker, dan konsisten di beberapa faktor demografis dan gaya hidup setelah juga mempertimbangkan risiko-risiko lain seperti jumlah tahi lalat, warna rambut, riwayat kulit terbakar parah, dan perilaku terkait sinar matahari.
Meski demikian, temuan ini sama sekali tidak mengurangi penyebab lain kanker kulit. "Sangat penting bahwa kita tidak membingungkan atau mengaburkan pesan pencegahan," ujar Matthew Browne, CEO Melanoma Institute Australia, memperingatkan dalam komentar tentang penelitian tersebut. "Bukti ilmiahnya jelas - paparan sinar matahari adalah satu-satunya faktor risiko terbesar untuk mengembangkan melanoma."
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR