Nationalgeographic.co.id—Pada masa VOC memulai usaha dagangnya di Jawa, agama Islam telah tumbuh subur dalam masyarakat baik di wilayah pesisir maupun pedalaman Jawa.
"Hal ini disebabkan telah adanya hubungan dan interaksi yang kuat dan intens pada abad sebelumnya dengan wilayah Arab," tulis Asyhadi Mufsi Sadzali dalam jurnal Tsaqofah dan Tarikh Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam.
Ia menulis sebuah jurnal yang berjudul Kelas Haji Kelas Sosial: Sejarah Haji dari Zaman Kolonial Hingga Kini Ditinjau dari Kajian Kritis Kapitalisme dan terbit pada tahun 2018.
Begitupun dengan ritual ibadah haji yang sudah menjadi budaya bangsawan Islam di Jawa, pemerintah kolonial—saat berdirinya Hindia Belanda—tak menutup mata.
Asyhadi menulis bahwa "campur tangan pihak kolonial dalam hal urusan ibadah haji, bermula dengan alasan ketakutan dan kecurigaan terhadap para haji yang baru pulang dari tanah suci."
Terdapat kecurigaan bahwa masyarakat muslim dari kalangan bangsawan Jawa yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, akan membawa pemikiran baru dalam pergerakan Islam untuk menentang eksistensi pemerintah kolonial.
"Di sisi lain, ternyata pihak kolonial juga melihat adanya keuntungan ekonomi yang sangat besar, apabila melakukan monopoli utuh terhadap prosesi ibadah haji," terusnya.
Guna menutupi modus kapitalisme dan monopoli politik tersebut, pemerintah kolonial menciptakan sebuah kesadaran palsu. Mereka menciptakan kecurigaan bahwa "Islam itu berbahaya" dan memanfaatkan isu internasional pada masa itu tentang gerakan pan islamisme.
Mengawali usaha monopoli ibadah haji tersebut, pemerintah menerbitkan sebuah putusan terkait prosesi ibadah haji dengan Resolusi (putusan) 1825. Rosolusi 1825 berkenaan dengan ONH (ongkos naik haji) yang ditentukan oleh pihak kolonial sebanyak f.110 (gulden).
Biaya sebesar itu tidak termasuk dengan "paspor (surat jalan dari penguasa setempat), biaya hidup, ongkos pulang dan dikenakan wajib lapor kepada pemerintah setempat sepulangnya ke tanah air," lanjut Asyhadi.
Pemerintah kolonial faham betul dengan kekuatan doktrin agama dan juga fanatisme umat Islam di Nusantara, sehingga meraka sangat yakin walaupun telah dikeluarkan Resolusi 1825, intensitas dan jumlah jamaah haji tetap akan melimpah dan terus bertambah.
Di balik itu, para agen-agen kapitalis memainkan peranannya di lapangan dengan menciptakan kesadaran palsu dalam pola pikir masyarakat Islam. Mereka meciptakan stereotip baru dalam kelas sosial masyarakat bahwa haji adalah gelar suci yang terhormat yang harus disanjung dan ditempatkan dalam tatanan sosial teratas masyarakat Islam.
Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau
Baca Juga: Cerita Para Jamaah Haji Perempuan Menyusuri Jalur Rempah ke Kota Suci
Baca Juga: Koin-Koin Arab Kuno Ungkap Aksi Keji Perompak Kapal Rombongan Haji
Baca Juga: Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?
Munculnya pandangan tersebut, mendorong melesatnya antusiasme para jamaah haji. "Biaya yang diperlukan untuk menunaikan ibadah haji sekali jalan bervariatif, namun secara umum diketahui bahwa harga tiket standar f.110 (gulden) ditambah dengan jasa perusahaan dan syekh f.17,5 (gulden).
Jika dijumlah, maka total ongkos transportasi yang dikeluarkan sebesar f.127,5 (gulden). "Namun, secara keseluruhan pemerintah Belanda meminta setiap calon jamaah harus menyetor f.500 (gulden),” imbuhnya.
Memasuki musim haji 1927-1928, jamaah yang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah berjumlah 33.965 orang: 10.970 orang berangkat dengan perusahaan Rotterdamsche Lloyd, 9.467 orang menggunakan perusahaan Nederlandsche Lloyd, dan 10.634 orang lewat perusahaan Ocean.
"Bisa dibayangkan keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial dimusim haji, bila total penumpang dari delapan pelabuhan dalam satu keberangkatan mencapai ribuan orang," pungkasnya.
Source | : | jurnal Tsaqofah dan Tarikh |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR