Nationalgeographic.co.id—Kita sering berdebat untuk membuat sistem ekonomi yang baik untuk bisa memberikan pemerataan kesejahteraan. Semua itu bertujuan supaya kehidupan sosial bisa makmur dan adil. Masalahnya, perdebatan itu terkadang menimbulkan konflik di kalangan masyarakat sendiri, karena semua ilmu terkait pemerataan kerap tidak pasti dan punya titik lemahnya.
Mungkin, di masa depan teknologilah yang membantu pemecahan masalah ini. Baru-baru ini para ilmuwan di Inggris membuat temuan berupa kecerdasan buatan (AI). Diyakini, kemampuan AI ini bisa merancang metode distribusi kekayaan yang lebih populer daripada sistem yang dirancang oleh manusia.
Alat itu dinamakan Democratic AI yang dibuat oleh tim peneliti perusahaan DeepMind. Penelitian tentangnya dipublikasikan di jurnal Nature Human Behaviour pada 4 Juli 2022 berjudul Human-centred mechanism design with Democratic AI.
Selama ini, AI kerap digunakan untuk menyelesaikan masalah kompleks pada fisika dan biologi. Akan tetapi, pemahaman penggunaannya untuk masalah sosial sedikit digali. Tentunya, pengembangannya sangat sulit.
"Salah satu rintangan utama untuk penyelarasan nilai adalah bahwa masyarakat manusia mengakui pluralitas pandangan, sehingga tidak jelas preferensi siapa yang harus disejajarkan dengan AI," tulis para peneliti di dalam makalahnya.
Setiap manusia punya pemikirannya sendiri yang terbaik berdasarkan gagasannya. Contohnya, orang kapitalis dan marxis punya pandangan berbeda tentang sistem pemerataan. Sulit untuk melakukan 'penyelarasan nilai' pada penelitian yang berhubungan dengan AI. Belum lagi, setiap orang punya pandangan yang tidak setuju terhadap suatu metode, terutama masalah sosial, ekonomi, dan politik.
"Misalnya, ilmuwan politik dan ekonom sering berselisih mengenai mekanisme mana yang akan membuat masyarakat kita berfungsi paling adil atau efisien," lanjut para peneliti yang dipimpin oleh Raphael Koster dari DeepMind.
Untuk membatu menjembatani perbedaan ini, Koster dan rekan-rekan mengembangkan agen. Tujuan agar distribusi kekayaan yang memiliki interaksi pada seseorang, secara nyata dan virtual, dibangun ke dalam data pelatihan mesin. Secara hipotesis, jika mesin bisa mempelajarinya, akan menuju hasil yang bisa disukai semua orang secara adil.
Dalam makalahnya, para peneliti menyebutkan ada sekitar ribuan peserta manusia yang ikut sebagai bahan pelajaran agen AI itu. Para pengguna menerima jumlah uang yang bervariasi dan dapat menyumbangkan uangnya ke dana publik. Selain itu juga dapat menarik pengembalian dari dana yang sesuai dengan tingkat investasi.
Menyadur dari Science Alert, berdasarkan uji coba, AI memberikan hasil yang luar biasa. Para peneliti menilai, alat itu bisa memberikan kesimpulan sosial yang jauh lebih dari yang diinginkan.
"Dalam penelitian AI, ada kesadaran yang berkembang bahwa untuk membangun sistem yang kompatibel dengan manusia, kita memerlukan metode penelitian baru di mana manusia dan agen berinteraksi, dan peningkatan upaya untuk mempelajari nilai langsung dari manusia untuk membangun AI yang selaras dengan nilai," tulis Koster dan tim.
Suatu rangkaian kasus permainan yang berbeda, kekayaan bisa didistribusikan kembali kepada para pengguna lewat tiga paradigma redistribusi tradisional. Paradigma itu seperti egaliter ketat, libertarian, dan egaliter liberal. Masing-masing punya cara berbeda untuk menghargai investasi para pengguna.
Para peneliti juga menguji alat itu dengan metode lain yang disebut Human Centered Redistribution Mechanism (HCRM). Cara ini lebih populer di kalangan pengguna daripada jenis-jenis tradisional.
"AI menemukan mekanisme yang memperbaiki ketidakseimbangan kekayaan awal, memberikan sanksi kepada pengendara gratis, dan berhasil memenangkan suara mayoritas," jelas Koster dan tim.
Baca Juga: Pengamatan Koin Romawi Ungkap Krisis Ekonomi 2.100 Tahun yang Lalu
Baca Juga: Ketika Kecerdasan Buatan Menjadi Penemu, Lantas Bagaimana Patennya?
Baca Juga: Ada Situs AI Bisa Bikin Foto Telanjang Palsu, Bagaimana Etikanya?
Baca Juga: Mata Robot Kembangan MIT Ini Bisa Melihat dan Analisis Seperti Manusia
"Kami menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk memanfaatkan penyelarasan nilai alat demokrasi yang sama untuk mencapai konsensus yang digunakan dalam masyarakat manusia yang lebih luas untuk memilih perwakilan, memutuskan kebijakan publik atau membuat penilaian hukum."
Namun, tatkala alat ini diterapkan di dunia nyata, sepertinya akan ada pertanyaan dan masalah baru. Agen sebagai data pembelajaran dengan jumlah populasi atau sampel tertentu di suatu negara mungkin bisa menciptakan ketidaksetaraan atau bias untuk kebanyakan orang.
Mungkin, di masa depan penggunaan alat ini membutuhkan studi yang lebih rinci lagi sebelum pada akhirnya diterapkan. Para peneliti pun mengakui masalah ini dan tidak menyiratkan untuk membentuk 'pemerintah AI' tanpa campur tangan manusia.
"Kami melihat Demokratic AI sebagai metodologi penelitian untuk merancang mekanisme yang berpotensi menguntungkan, bukan resep untuk menyebarkan AI di ruang publik."
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | Science Alert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR