Nationalgeographic.co.id—Melawat ke Monumen Pers Nasional di Kota Surakarta, penulis disuguhkan dengan kehadiran pameran Fotografi Solo Tempo Doeloe. Ditemani seorang rekan yang mengajak saya, kami mulai mengitari galeri bernuansa lawas nan menawan.
Saat berkunjung ke galeri fotografi tersebut, secarik foto diberikan oleh petugas. Gambarnya seakan membawa kami kembali menyelami Monumen Pers Nasional di masa-masa Mangkunegara VII berjaya.
Caption singkat dalam foto berbunyi "Sasana Suka, Societeit Mangkoenegaran—Tahun 1950-an." Jelas, foto tersebut tengah membicarakan gedung Monumen Pers Nasional yang saat ini kami sambangi. Namun, istilah Societeit Mangkoenegaran memantik rasa penasaran kami.
Berlayar menuju cakrawala historisnya, "Monumen Pers Nasional di Kota Surakarta ini sejatinya didirikan oleh KGPAA Mangkunegara VII pada tahun 1918," tulis Restu Mohammad Sholeh.
Ia menulis dalam Jurnal Candi yang diterbitkan Prodi Pendidikan Sejarah FKIP UNS. Jurnalnya berjudul Revitalisasi Monumen Pers Sebagai Salah Satu Cagar Budaya di Surakarta yang terbit pada 2015.
Bangunan ini pertama didirikan sebagai "gedung pertemuan kerabat Mangkunegaran yang disebut dengan Societeit Sasana Suka atau Sasono Suko," tambahnya.
Menurut Restu dalam jurnalnya, di dalam gedung Sasono Suko dahulunya terdapat meja biliar, papan catur dan sebagainya. Kamar bola juga merupakan salah satu sebutan dari gedung Sasono suko.
Gedung itu merupakan hasil polesan tangan arsitek yang berasal dari kota Semarang. Seorang arsitek yang sohor pada zaman Hindia Belanda, bernama R. Atmodirono. Ia merupakan arsitek pribumi pertama, mengingat kebanyakan di zaman itu lebih banyak arsitek berkebangsaan Eropa.
Sasono Suko digunakan untuk rapat yang melahirkan stasiun radio pertama kaum pribumi bernama Soloche Radio Vereeniging (SRV). Stasiun radio ini berdiri pada tahun 1933 oleh prakarsa Ir. Sarsito Mangunkusumo, seorang insinyur pribumi di masa Mangkunegara VII.
Stasiun radio SRV ini dioptimalkan untuk keperluan budaya. Mengingatkan kami pada tahun 1937, Putri Mangkunegara VII, Gusti Nurul Kamaril yang membawakan tari Bedhaya Srimpi di Istana Kerajaan Belanda di Den Haag dengan diiringi musik gamelan.
Penampilan gemilang ini kemudian menyiarkan musik gamelan dari Solo guna mengiringi penampilan Gusti Nurul lewat siaran yang mengudara dari Sasono Suko di Surakarta.
Baca Juga: Gusti Noeroel, Permata Mangkunagaran Penyatu Wangsa Mataram
Baca Juga: Mangkunegara VII: Andil Besarnya bagi Sepak Bola di Surakarta
Baca Juga: Di Balik Agresi Militer, Dukungan Mangkunagara untuk Laskar Rakyat
Baca Juga: Mengenal Puro Mangkunegaran dan Modernitas Batiknya
Selepas masuknya Jepang ke Surakarta pada tahun 1942, bangunan ini lebih banyak digunakan sebagai balai pertemuan bagi para tokoh kemerdekaan. Mangkunegara VII memberikan keleluasaan kepada para tokoh untuk menyusun kekuatannya.
Hingga masa kemerdekaan, Societeit Sasono Suko akhirnya kembali beralih fungsi. Tepat pada 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di deklarasikan di tempat ini. "Inilah momentum penting media elektronik pada zaman kemerdekaan," tulis Pemkot Surakarta dalam laman resminya.
Menurut laman resminya, para jurnalis senior, seperti Rosihan Anwar, BM Diah dan S Tahsin menginisiasi pendirian yayasan yang menaungi berbagai perjalanan kesejarahan pers Indonesia. Akhirnya yayasan ini diresmikan pada 22 Mei 1956 dengan menyimpan berbagai koleksi yang mayoritas pemberian Soedarjo Tjokrosisworo.
Barulah pada tanggal 9 Februari 1978, gedung ini diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Monumen Pers Nasional Surakarta yang berdiri kokoh sampai hari ini.
Sanggup Serap Ratusan Juta Ton CO2, Terobosan Ini Diklaim Cocok Diterapkan di Indonesia
Source | : | Jurnal Candi |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR